Sunday, November 21, 2010

ETIKA DALAM AUDITING

INDEPEDENSI,TANGGUNGJAWAB AUDITOR,KAP
Suatu ciri khusus dari para profesional adalah kesediaan mereka untuk menerima seperangkat prinsip-prinsip profesional dan prinsip-prinsip etika serta mengikuti prinsip-prinsip ini dalam segala urusan keseharian mereka, para profesional menghendaki untuk menimbang secara berhati-hati, implikasi dari aksi-aksi alternatif dan mengatur diri mereka sendiri dalam sebuah kebiasaan yang tidak hanya sesuai dengan peraturan tetapi juga layak.
TREN-TREN ETIKA DALAM MASYARAKAT KITA
Kode etik yang dijalankan oleh profesional sangat dinilai tinggi dalam masyarakat kita. Kode
aturan, kode etika, dan aturan hukum melengkapi keluasan bukti dari nilai-nilai tersebut.
KONSEP UMUM ETIKA

Definisi etika sebagaiamana yang ditemukan dalam American Iteritage Dictionary adalah suatu studi tentang pembawa umum dari moral dan adari pilihan-pilihan moral yang spesifik yang dibuat oleh individu dalam hubungannya dengan orang lain.

Hal yang pertama standar-standar etika pribadi menghendaki adanya suatu berkomitmen etika yaitu suatu keteguhan hati untuk bertindak sesuai etika. Selanjutnya kita harus memiliki suatu kemampuan untuk mengamati implikasi-implikasi etika dari sebuah situasi.
MODEL UMUM UNTUK MEMBUAT KEPUTUSAN BERETIKA
Berikut adalah model yang digunakan oleh seorang CPA dalam pekerjaan mereka:
1. Mengumpulkan /mengidentifikasi semua fakta-fakta yang relevan tentang situasi yang

menimbulkan isu etika dan membuat suatu kebutuhan untuk suatu keputusan beretika.
2. Memikirkan individu-individu/kelompok-kelompok yang akan terkena dampaknya.
3. Memikirkan akibat-akibat alternatif dai suatu tindakan.
4. Memikirkan hasil-hasil yang mungkin sebagai konsekuensi yang diakibatkan tindakan tersebut.
5. Membandingkan akibat-akibat tindakan tersebut dengan pertanyaan-pertanyaan etika yang
timbul.
6. Memilih suatu alur aksi diantara alternatif-alternatif tersebut.
KODE ETIKA PROFESIONAL DALAM PROFESI AKUNTAN
Kode ini menjelma dalam kode etik profesional AKDA, ada 3 karakteristik dan hal-hal yang

ditekankan untuk dipertanggungjawabkan oleh CPA kepada publik.
1. CPA harus memposisikan diri untuk independen, berintegritas, dan obyektif.
2. CPA harus memiliki keahlian teknik dalam profesinya.
3. CPA harus melayani klien dengan profesional dan konsisten dengan tanggung jawab mereka
kepada publik.
PRINSIP-PRINSIP KODE ETIKA PERILAKU PROFESIONAL
Prinsip-prinsip aturan perilaku profesional mengandung 7 cakupan umum.
1. Suatu pernyataan dari maksud prinsip-prinsip tersebut.

Banyak dari kode etik AICPA yang dapat dilanggar tanpa harus melanggar hukum/peraturan. Alasan utama dari kode etik ini adalah menyemangati anggotanya untuk melatih disiplin diri di dalam/di luar hukum/peraturan.
2. Tanggung jawab

Dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai profesional CPA harus menggunakan pertimbangan profesional dan moral yang sensitif dalam semua aktifitasnya. Sebagaimana disebutkan dalam bab I, CPA/akuntan publik melaksanakan suatu peran penting di masyarakat. Mereka bertanggung jawab, bekerja sama satu sama lain untuk mengembangkan metode akuntansi dan pelaporan, memelihara kepercayaan publik, dan melaksanakan tanggung jawab profesi bagi sendiri.
3. Kepentingan publik
CPA wajib memberikan pelayanannya bagi kepentingan publik, menghormati kepercayaan
publik, dan menunjukkan komitmen serta profesionalisme. Salah satu tanda yang membedakan profesi adalah penerimaan tanggung jawabnya kepada publik. CPA diandalkan oleh banyak unsur masyarakat, termasuk klien, kreditor, pemerintah, pegawai, investor, dan komunitas bisnis serta keuangan. Kelompok ini mengandalkan obyektifitas dan integritas CPA untuk memelihara fungsi perdagangan yang tertib.
4. Integritas

Untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik, CPA harus melaksanakan semua tanggung jawab profesionalnya dengan integritas tertinggi. Perbedaan karakteristik lainnya dari suatu profesi adalah pengakuan anggotanya akan kebutuhan memiliki integritas. Integritas menurut CPA bertindak jujur dan terus terang meskipun dihambat kerahasiaan klien. Pelayanan dan kepercayaan publik tidak boleh dimanfaatkan untuk keuntungan pribadi. Integritas dapat mengakomodasi kesalahan akibat kurang berhati-hati dan perbedaan pendapat
yang
jujur,
akan
tetapi,
integritas
tidak
dapat
mengakomodasi
kecurangan/pelanggaran prinsip.
5. Obyektifitas dan independensi

Seorang CPA harus mempertahankan obyektifitas dan bebas dari konflik kepentingan dalam melaksanakan tanggung jawab profesional. Seorang CPA dalam praktek publik harus independent dalam kenyataan dan dalam penampilan ketika memberikan jasa auditing dan jasa atestasi lainnya. Prinsip obyektifitas menuntut seorang CPA untuk tidak memihak, jujur secara intelektual, dan bebas dari konflik kepentingan. Independensi menghindarkan diri dari hubungan yang bisa merusak obyektifitas seorang CPA dalam melakukan jasa atestasi.
6. Kemahiran

Seorang CPA harus melakukan standar teknis dan etis profesi, terus berjuang meningkatkan kompetensi mutu pelayanan, serta melaksanakan tanggung jawab profesional dengan sebaik- baiknya. Prinsip kemahiran (due care) menuntut CPA untuk melaksanakan jasa profesional dengan sebaik-baiknya. CPA akan memperoleh kompetensi melalui pendidikan dan pengalaman dimulai dengan menguasai ilmu yang disyaratkan bagi seorang CPA. Kompetensi juga menuntut CPA untuk terus belajar di sepanjang karirnya.
7. Lingkup dan sifat jasa

Seorang CPA yang berpraktik publik harus mempelajari prinsip kode etik perilaku profesional dalam menentukan lingkup dan sifat jasa yang akan diberikan. Dalam menentukan apakah dia akan melaksanakan atau tidak suatu jasa, anggota AICPA yang berpraktik publik harus mempertimbangkan apakah jasa seperti itu konsisten dengan setiap prinsip perilaku profesional CPA.
PERATURAN PERILAKU PROFESIONAL
Peraturan perilaku profesional lebih spesifik karena menunjukkan aksi dan hubungan CPA, dan
jika CPA tidak menaati/melanggar kode etik peraturan ini mengakibatkan sanksi dari AICPA.
BAGIAN 100-PERATURAN 101. INDEPENDENSI

Peraturan 101 mengenai independensi menyatakan “seorang CPA yang berpraktik publik harus independen dalam memberikan jasa profesional sebagaimana disyaratkan oleh standar resmi yang dikeluarkan oleh dewan.” Sebagaimana telah dibahas bab I, tidak peduli bagaimana kompetennya seorang CPA, pendapat CPA atas laporan keuangan akan berkurang nilainya bagi para pemakai kecuali CPA mempertahankan independensi. Peraturan 101 memasyaratkan independensi, telaah dan penugasan atestasi lainnya.
HUBUNGAN KEUANGAN-KEPENTINGAN KEUANGAN TIDAK LANGSUNG

Kepentingan keuangan tidak langsung yang material dapat mengurangi independensi. Kepentingan seorang CPA dapat mengurangi independensi jika memiliki kepentingan keuangan dalam suatu kesatuan yang memiliki suatu kepentingan keuangan terhadap klien audit.
HUBUNGAN KEUANGAN PINJAMAN DARI KLIEN AUDIT

Peraturan mengenai independensi melarang pinjaman ke/dari klien audit, akan tetapi pinjaman dari lembaga keuangan adalah dimaklumi dalam situasi tertentu jika pinjaman dibuat menurut persyaratan pinjaman normal.
HUBUNGAN KEUANGAN-TUNTUTAN HUKUM KLIEN
Independensi dapat berkurang jika seorang klien audit memulai atau berniat untuk mengajukan
tuntutan hukum terhadap kinerja audit CPA. Terdapat 2 ciri penting tentang audit:
1. Klien aaudit harus bersedia untuk mengungkapkan seluruh aspek dari operasi bisnis kepada auditor.
2. Sebaliknya, auditor harus obyektif dalam penilaian tearhadap hasil laporan keuangan.
HUBUNGAN MANAJERIAL ATAU KARYAWAN-POSISI DENGAN KLIEN

Umumnya auditor akan independen jika mereka dihubungkan dengan audit klien sebagai karyawan, pegawai, direktur atau posisi yang sama selama periode penugasan profesional mereka atau pada waktu mengungkapkan suatu opini. Anggota dapat dihubungkan dengan laporan keuangan dari organisasi amal, keagamaan, atau yang memikirkan kepentingan umum jika mereka hanya direktur atau trustee (wali) honorer dari organisasi tersebut.
HUBUNGAN MANAJERIAL ATAU KARYAWAN-JASA AKUNTANSI UNTUK AUDIT KLIEN

Di bawah kondisi tertentu auditor dapat memberikan jasa auditing dan pembukuan untuk klien yang sama. Satu alasan untuk membolehkan hubungan tersebut adalah bahwa auditor menilai kewajaran dari hasil keputusan operasi manajemen bukan kebijaksanaan dari keputusan. Syarat- syaratnya:

1. Klien harus menerima tanggung jawab atas laporan keuangan. Ketika diperlukan, auditor harus membantu kliennya untuk memahami masalah-masalah akuntansi secukupnya agar klien dapat menjalankan tanggnug jawabnya..

2. Auditor tidak boleh menjadi pegawai/manajemen. Ini berarti bahwa sebaiknya auditor tidak memberi kuasa atas transaksi, pemeliharaan atas harta klien atau kuasa penugasan pada kepentingan klien.
3. Ketika laporan keuangan disiapkan dari buku dan catatan yang dikelola oleh auditor, auditor
tersebut harus menaati standar audit yang berlaku umum.
HUBUNGAN MANAJERIAL ATAU KARYAWAN-INDEPENDENSI AUDITOR DAN JASA KONSULTASI
MANAJEMEN

Seorang CPA tidak akan kehilangan independensinya saat melakukan jasa konsultasi manajemen untuk klien audit karena konsultasi manajemen tidak meliputi suatu pendapat tentang kewjaran dari suatu laporan keuangan.

PERILAKU ETIKA DALAM AKUNTANSI

Etika Dalam Akuntansi (creative accounting, fraud auditing)
"Creative accounting’ menurut Amat, Blake dan Dowd [1999] adalah sebuah proses dimana beberapa pihak menggunakan kemampuan pemahaman pengetahuan akuntansi (termasuk didalamnya standar, teknik dsb.) dan menggunakannya untuk memanipulasi pelaporan keuangan.
Naser [1993] dalam Amat et.al. [1999] medefinisikan ‘creative accounting’ sebagai berikut:
The process of manipulating accounting figures by taking advantage of loopholes in accounting rules and the choice of measurement and disclosure practices in them to transform financial statements from what they should be, to what prepares would prefer to see reported, …..and The process by which transactions are structured so as to produce the required accounting results rather than reporing transaction in neutral and consistent way.

Stolowy dan Breton [2000] menyebut ‘creative accounting’ merupakan bagian dari ‘accounting manipulation’ yang terdiri dari ‘earning management’ , ‘income smoothing’ dan ‘creative accounting’ itu sendiri.
Dalam pemahaman mengenai ‘creative accounting’ ini bukan berarti akuntan ‘an sich’ yang memanfaatkan pemahaman akuntansi tersebut, tetapi pihak-pihak yang mempunyai kepentingan dan kekuatan untuk menggunakan ‘creative accounting’ tersebut, seperti manajer, akuntan, pemerintah, asosiasi industri dan sebagainya.
Manajer dalam bereaksi terhadap pelaporan keuangan menurut Watt dan Zimmerman [1986] digolongkan menjadi tiga buah hipotesis, yaitu bonus-plan hyphotesis, debt-covenant hyphotesis dan political cost hyphotesis.

Bonus plan hyphotesis
Healy [1985] dalam Scott [1997] menyatakan bahwa manajer seringkali berperilaku seiring dengan bonus yang akan diberikan. Jika bonus yang diberikan tergantung pada laba yang akan dihasilkan, maka manajer akan melakukan ‘creative accounting’ dengan menaikkan laba atau mengurangi laba yang akan dilaporkan. Pemilik biasanya menetapkan batas bawah laba yang paling minim agar mendapatkan bonus. Dari pola bonus ini manajer akan menaikkan labanya hingga ke atas batas minimal tadi. Tetapi jika pemilik perusahaan membuat batas atas untuk mendapatkan bonus, maka manajer akan berusaha mengurangkan laba sampai batas atas tadi dan mentransfer laba saat ini ke periode yang akan datang. Hal ini dia lakukan karena jika laba melewati batas atas tersebut manajer sudah tidak mendapatkan insentif tambahan atas upayanya memperoleh laba di atas batas yang ditetapkan oleh pemilik perusahaan. Formula bonus yang digunakan Healy didasarkan pada asumsi bahwa perusahaan terdiri atas manajer yang menghindari resiko (risk averse) sehingga manajer akan memilih discretionary accrual untuk (1) menurunkan earning ketika earning sebelum keputusan accrual lebih kecil dari bogey (batas bawah) atau melebihi cap (batas atas) (2) menaikkan earning ketika earning sebelum keputusan accrual melebihi bogey tetapi tidak melebihi cap. Implikasi yang dikemukakan oleh Healy adalah bahwa manajer akan berperilaku oportunistik menghadapi intertemporal choice.

Debt-covenant hyphotesis
Penelitian dalam bidang teori akuntansi positif juga menjelaskan praktek akuntansi mengenai bagaimana manajer menyikapi perjanjian hutang. Manajer dalam menyikapi adanya pelanggaran atas perjanjian hutang yang telah jatuh tempo, akan berupaya menghindarinya dengan memilih kebijakan-kebijakan akuntansi yang menguntungkan dirinya. Fields, Lys dan Vincent [2001] mengemukakan ada dua kejadian dalam pemilihan kebijakan akuntansi, yaitu pada saat diadakannya perjanjian hutang dan pada saat jatuh temponya hutang. Kontrak hutang jangka panjang (debt covenant) merupakan perjanjian untuk melindungi pemberi pinjaman dari tindakan-tindakan manajer terhadap kepentingan kreditur, seperti pembagian deviden yang berlebihan, atau membiarkan ekuitas berada di bawah tingkat yang telah ditentukan. Semakin cenderung suatu perusahaan untuk melanggar perjanjian hutang maka manajer akan cenderung memilih prosedur akuntansi yang dapat mentransfer laba periode mendatang ke periode berjalan karena hal tersebut dapat mengurangi resiko ‘default’. Sweeney [1994] dalam Scott [1997] menyatakan perilaku ‘memindahkan’ laba tersebut dilakukan oleh perusahaan bermasalah yang terancam kebangkrutan dan ini merupakan strategi untuk bertahan hidup.

Political-cost hyphotesis.
Dalam pandangan teori agensi (agency theory), perusahaan besar akan mengungkapkan informasi lebih banyak daripada perusahaan kecil. Perusahaan besar melakukannya sebagai upaya untuk mengurangi biaya keagenan tersebut. Perusahaan besar menghadapi biaya politis yang lebih besar karena merupakan entitas yang banyak disorot oleh publik secara umum. Para karyawan berkepentingan melihat kenaikan laba sebagai acuan untuk meningkatkan kesejahteraannya melalui kenaikan gaji. Pemerintah melihat kenaikan laba perusahaan sebagai obyek pajak yang akan ditagihkan. Sehingga pilihan yang dihadapi oleh organisasi adalah dengan cara bagaimana lewat proses akuntansi agar laba dapat ditampilkan lebih rendah. Hal ini yang seringkali disebut dengan political cost hyphoyesis [Watts dan Zimmerman: 1986].

Berbagai macam pola yang dilakukan dalam rangka ‘creative accounting’ menurut Scott [1997] sebagai berikut:
1. Taking Bath, atau disebut juga ‘big bath’. Pola ini dapat terjadi selama ada tekanan organisasional pada saat pergantian manajemen baru yaitu dengan mengakui adanya kegagalan atau defisit dikarenakan manajemen lama dan manajemen baru ingin menghindari kegagalan tersebut. Teknik ini juga dapat mengakui adanya biaya-biaya pada periode mendatang dan kerugian periode berjalan ketika keadaan buruk yang tidak menguntungkan yang tidak bisa dihindari pada periode berjalan. Konsekuensinya, manajemen melakukan ‘pembersihan diri’ dengan membebankan perkiraan-perkiraan biaya mendatang dan melakukan ‘clear the decks’. Akibatnya laba periode berikutnya akan lebih tinggi dari seharusnya.
2. Income minimization. Cara ini mirip dengan ‘taking bath’ tetapi kurang ekstrem. Pola ini dilakukan pada saat profitabilitas perusahaan sangat tinggi dengan maksud agar tidak mendapatkan perhatian oleh pihak-pihak yang berkepentingan (aspek political-cost). Kebijakan yang diambil dapat berupa write-off atas barang modal dan aktiva tak berwujud, pembebanan biaya iklan, biaya riset dan pengembangan, metode successfull-efforts untuk perusahaan minyak bumi dan sebagainya. Penghapusan tersebut dilakukan bila dengan teknik yang lain masih menunjukkan hasil operasi yang kelihatan masih menarik minat pihak-pihak yang berkepentingan. Tujuan dari penghapusan ini adalah untuk mencapai suatu tingkat return on assets yang dikehendaki.
3. Income maximization. Maksimalisasi laba dimaksudkan untuk memperoleh bonus yang lebih besar, dimana laba yang dilaporkan tetap dibawah batas atas yang ditetapkan.
4. Income smoothing. Perataan laba merupakan cara yang paling populer dan sering dilakukan. Perusahaan-perusahaan melakukannya untuk mengurangi volatilitas laba bersih. Perusahaan mungkin juga meratakan laba bersihnya untuk pelaporan eksternal dengan maksud sebagai penyampaian informasi internal perusahaan kepada pasar dalam meramalkan pertumbuhan laba jangka panjang perusahaan.
5. Timing revenue and expense recognition. Teknik ini dapat dilakukan dengan membuat kebijakan tertentu berkenaan dengan saat atau timing suatu transaksi seperti adanya pengakuan yang prematus atas penjualan.
‘Creative accounting’ dapat dikatakan sebagai sebuah praktek akuntansi yang buruk, karena cenderung mereduksi reliabilitas informasi keuangan. Karena manajer memiliki asimetri informasi, yang bagi pihak di luar perusahaan sangat sulit diketahui, maka memaksimalkan keuntungan dengan ‘creative accounting’ akan selalu ada. Masalah sebenarnya adalah tidak diberikannya pengungkapan yang transparan secara menyeluruh tentang proses pertimbangan-pertimbangan dalam penentuan kebijakan akuntansi (accounting policy). Akibatnya, laporan keuangan dianggap masih memiliki keterbatasan mendasar sehingga belum memadai untuk digunbakan dalam proses pengambilan keputusan.
Merujuk agency theory, laporan keuangan dipersiapkan oleh manajemen sebagai pertanggungjawaban mereka kepada principal. Karena manajemen terlibat secara langsung dalam kegiatan usaha perusahaan maka manajemen memilikiasimetri informasi dengan melaporkan segala sesuatu yang memaksimumkan utilitasnya. ‘Creative accounting’ sangat mungkin dilakukan oleh manajemen, karena manajemen dengan asimetri informasi yang dimilikinya akan leluasa untuk memilih alternatif metode akuntansi. Manajemen akan memilih metode akuntansi tertentu jika terdapat insentif dan motivasi untuk melakukannya. Cara yang paling sering digunakan adalah dengan merekayasa laba (earning management), karena laba seringkali menjadi fokus perhatian para pihak eksternal yang berkepentingan.

‘Creative accounting’ dan etika
‘Creative accounting’ mempunyai banyak konsekuensi. Dalam perspektif ekonomi, ‘creative accounting’ dipengaruhi oleh kerangka ekonomi yang bertujuan untuk self-interset. Hal ini mungkin sah-sah saja dilakukan sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip akuntansi berterima umum. Namun pertanyaan yang harus dijawab adalah apakah ‘creative accounting’ memang sesuatu yang benar untuk dilakukan? Apakah maksud dan tujuan ‘creative accounting’ sehingga moral judgment-nya tergantung kepada tujuan ‘creative accounting’ itu sendiri. Persepsi ini harus diluruskan agar tidak menjadikan bahwa ‘creative accounting’ menjadi hal yang pro dan kontra.
Dalam pandangan orang awam ‘creative accounting’ dianggap tidak etis, bahkan merupakan bentuk dari manipulasi informasi sehingga menyesatkan perhatiannya. Tetapi dalam pandangan teori akuntansi positif, sepanjang ‘creative accounting’ tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berterima umum, tidak ada masalah yang harus dipersoalkan. Asalkan tidak ada asimetri informasi antara pelaku ‘creative accounting’ dan pengguna informasi keuangan.
Perilaku yang tidak semestinya (disfunctional behaviour) para manajer terjadi akibat adanya asimetri informasi dalam penyajian laporan keuangan tidak terlepas dari pertimbangan konsekuensi ekonomi. Perhatian kita mungkin diarahkan bagaimana mendorong keterbukaan informasi secara lebih luas sehingga inside information bukanlah sesuatu yang ‘tabu’ untuk diumumkan kepada khalayak. Karena dalam kerangka keterbukaan yang menyeluruh sebenarnya ‘creative accounting’ atau apapun namanya, tidak akan berpengaruh kepada semua pihak yang berkepentingan terhadap organisasi. Karena semua pihak akan mempunyai informasi yang sama dan tidak ada asimetri informasi lagi. Sekali lagi, pentingnya mendorong keterbukaan dalam rangka good governance akan membawa dampak kepada ketersediaannya informasi sehingga akan mengeliminasi dan mengurangi dampak ‘creative accounting’.

FRAUD AUDITING

pelaporan keuangan yang curang yaitu salah saji atau pengabaian jumlah atau pengungkapan yang disenagaja dengan maksud menipu para pemakai laporan keuangan.

caranya yaitu dengan cara:
1.pengabaian jumlah namun ini kurang lazim dilakukan
2.melebihsajikan laba yaitu dengan mengabaikan utang usaha dan kewajiban
3.merendahsajikan laba untuk mengurangi pajak penghasilan, membentuk cadangan laba untuk memperbesar laba diperiode mendatang, bisa berbentuk perataan laba, atau pengaturan laba.

penyalahgunaan aktiva sering dilakukan oleh para pegawai dan orang lain dalam organisasi, dilakukan pada tingkat hierarki organisasi paling bawah sampai manajeman puncak yang mempunyai kewenangan yang lebih besar atas aktiva organisasi.

kondisi-kondisi penyebab kecurangan menurut sas 99 adalah tekanan,kesempatan dan rasionalisasi atau yang lebih dikenal dengan fraud triangle.

pedoman bagi auditor dalam menilai resiko kecurangan menurut sas 99:
1. skeptisme profesional menurut sas 1 "auditor tidak mengasumsikan bahwa manajemen tidak jujur tetapi juga tidak mengasumsikan kejujuran absolute"
-pikiran yang selalu mempertanyakan
-evaluasi kritis atas bukti audit
2.sumber informasi untuk menilai resiko kecurangan
-komunikasi diantara tim audit
-pengajuan pertanyaan kepada manajeman
-faktor resiko
-prosedur analitis
-informasi lain
3.mengdokumentasikan penilaian kecurangan
-diskusi antar personel tim dll

pedoman mengidentifikasi 3 unsur untuk mendeteksi kecurangan:
1.budaya jujur dan etika yang tinggi
2.tanggung jawab manajemen untuk mengevaluasi resiko
3.pengawasan oleh komite audit

respon auditor terhadap resiko kecurangan:
1.mengubah pelaksanaan audit secara keseluruhan
2.merancang dan melaksanakan prosedur audit untuk menangani risiko kecurangan.
3.merancang dan melaksanakan prosedur audit untuk menangani pengabaian pengendalian oleh manajemen.
4.memutahirkan proses penilaian resiko

bidang resiko kecurangan ynag spesifik:
1.pendapatan dan piutang usaha.
2.persediaan
3.pembelian dan utang usaha
4.aktiva tetap dan beban penggajian

apabila dicurigai ada kecurangan, auditor akan mengumpulkan informasi tambahan dengan cara:
1.pengajuan pertanyaan
2.mengevaluasi respon atas pengajuan pertanyaan
3.menentukan kemungkinan adanya kecurangan dengan perangkat lunak untuk mencari pendapatan fiktif atau no faktur duplikat .

ETIKA BISNIS

ETIKA DAN BISNIS
• Apa itu “etika bisnis”?
• Apa saja enam tingkatan dalam membangun moral?
• Perlukah standar moral diaplikasikan dalam bisnis?
• Kapan seseorang secara moral bertanggung jawab untuk perbuatan salahnya?
Tidak ada cara yang paling baik untuk memulai penelaahan hubungan antara etika dan
bisnis selain dengan mengamati, bagaimanakah perusahaan riil telah benar-benar
berusaha untuk menerapkan etika ke dalam bisnis. Perusahaan Merck and Company
dalam menangani masalah “river blindness” sebagai contohnya ;
River blindness adalah penyakit sangat tak tertahankan yang menjangkau 18 juta
penduduk miskin di desa-desa terpencil di pinggiran sungai Afrika dan Amerika Latin.
Penyakit dengan penyebab cacing parasit ini berpindah dari tubuh melalui gigitan lalat
hitam. Cacing ini hidup dibawah kulit manusia, dan bereproduksi dengan melepaskan
jutaan keturunannya yang disebut microfilaria yang menyebar ke seluruh tubuh dengan
bergerak-gerak di bawah kulit, meninggalkan bercak-bercak, menyebabkan lepuh-lepuh
dan gatal yang amat sangat tak tertahankan, sehingga korban kadang-kadang
memutuskan bunuh diri.
Pada tahun 1979, Dr. Wiliam Campbell, ilmuwan peneliti pada Merck and Company,
perusahaan obat Amerika, menemukan bukti bahwa salah satu obat-obatan hewan yang
terjual laris dari perusahaan itu, Invernectin, dapat menyembuhkan parasit penyebab river
blindness. Campbell dan tim risetnya mengajukan permohonan kepada Direktur Merck,
Dr. P. Roy Vagelos, agar mengijinkan mereka mengembangkan obat tersebut untuk
manusia.
Para manajer Merck sadar bahwa kalau sukses mengembangkan obat tersebut, penderita
river blindness terlalu miskin untuk membelinya. Padahal biaya riset medis dan tes klinis
berskala besar untuk obat-obatan manusia dapat menghabiskan lebih dari 100 juta dollar.
Bahkan, kalau obat tersebut terdanai, tidak mungkin dapat mendistribusikannya, karena
penderita tinggal di daerah terpencil. Kalau obat itu mengakibatkan efek samping,
publisitas buruk akan berdampak pada penjualan obat Merck. Kalau obat murah tersedia,
obat dapat diselundupkan ke pasar gelap dan dijual untuk hewan,sehingga
menghancurkan penjualan Invernectin ke dokter hewan yang selama ini menguntungkan.
Meskipun Merck penjualannya mencapai $2 milyar per tahun, namun pendapatan
bersihnya menurun akibat kenaikan biaya produksi, dan masalah lainnya, termasuk
kongres USA yang siap mengesahkan Undang-Undang Regulasi Obat yang akhirnya
akan berdampak pada pendapatan perusahaan. Karena itu, para manajer Merck enggan
membiayai proyek mahal yang menjanjikan sedikit keuntungan, seperti untuk river
blindness. Namun tanpa obat, jutaan orang terpenjara dalam penderitaan menyakitkan.
Setelah banyak dilakukan diskusi, sampai pada kesimpulan bahwa keuntungan
manusiawi atas obat untuk river blindness terlalu signifikan untuk diabaikan. Keuntungan
manusiawi inilah, secara moral perusahaan wajib mengenyampingkanbiaya dan imbal
ekonomis yang kecil. Tahun 1980 disetujuilah anggaran besar untuk mengembangkan
Invernectin versi manusia.
Tujuh tahun riset mahal dilakukan dengan banyak percobaan klinis, Merck berhasil
membuat pil obat baru yang dimakan sekali setahun akan melenyapkan seluruh jejak
parasit penyebab river blindness dan mencegah infeksi baru. Sayangnya tidak ada yang
mau membeli obat ajaib tersebut, termasuk saran kepada WHO, pemerintah AS dan
pemerintah negara-negara yang terjangkit penyakit tersebut, mau membeli untuk
melindungi 85 juta orang beresiko terkena penyakit ini, tapi tak satupun menanggapi
permohonan itu. Akhirnya Merck memutuskan memberikan secara gratis obat tersebut,
namun tidak ada saluran distribusi untuk menyalurkan kepada penduduk yang
memerlukan. Bekerjasama dengan WHO, perusahaan membiayai komite untuk
mendistribusikan obat secara aman kepada negara dunia ketiga, dan memastikan obat
tidak akan dialihkan ke pasar gelap dan menjualnya untuk hewan. Tahun 1996, komite
mendistribusikan obat untuk jutaan orang, yang secara efektif mengubah hidup penderita
dari penderitaan yang amat sangat, dan potensi kebutaan akibat penyakit tersebut.
Merck menginvestasikan banyak uang untuk riset, membuat dan mendistribusikan obat
yang tidak menghasilkan uang, karena menurut Vegalos pilihan etisnya adalah
mengembangkannya, dan penduduk dunia ketiga akan mengingat bahwa Merck
membantu mereka dan akan mengingat di masa yang akan dating. Selama bertahun-tahun
perusahaan belajar bahwa tindakan semacam itu memiliki keuntungan strategis jangka
panjang yang penting.
Para ahli sering berkelakar, bahwa etika bisnis merupakan sebuah kontradiksi istilah
karena ada pertentangan antara etika dan minat pribadi yang berorientasi pada pencarian
keuntungan. Ketika ada konflik antara etika dan keuntungan, bisnis lebih memilih
keuntungan daripada etika.
Buku Business Ethics mengambil pandangan bahwa tindakan etis merupakan strategi
bisnis jangka panjang terbaik bagi perusahaan – sebuah pandangan yang semakin
diterima dalam beberapa tahun belakangan ini.
1.1.ETIKA BISNIS DAN ISU TERKAIT
Menurut kamus, istilah etika memiliki beragam makna berbeda. Salah satu maknanya
adalah “prinsip tingkah laku yang mengatur individu dan kelompok”. Makna kedua
menurut kamus – lebih penting – etika adalah “kajian moralitas”. Tapi meskipun etika
berkaitan dengan moralitas, namun tidak sama persis dengan moralitas. Etika adalah
semacam penelaahan, baik aktivitas penelaahan maupun hasil penelaahan itu sendiri,
sedangkan moralitas merupakan subjek.
A. Moralitas
Moralitas adalah pedoman yang dimiliki individu atau kelompok mengenai apa itu benar
dan salah, atau baik dan jahat.
Pedoman moral mencakup norma-norma yang kita miliki mengenai jenis-jenis tindakan
yang kita yakini benar atau salah secara moral, dan nilai-nilai yang kita terapkan pada
objek-objek yang kita yakini secara moral baik atau secara moral buruk. Norma moral
seperti “selalu katakan kebenaran”, “membunuh orang tak berdosa itu salah”. Nilai-nilai
moral biasanya diekspresikan sebagai pernyataan yang mendeskripsikan objek-objek atau
ciri-ciri objek yang bernilai, semacam “kejujuran itu baik” dan “ketidakadilan itu buruk”.
Standar moral pertama kali terserap ketika masa kanak-kanak dari keluarga, teman,
pengaruh kemasyarakatan seperti gereja, sekolah, televisi, majalah, music dan
perkumpulan.
Hakekat standar moral :
1. Standar moral berkaitan dengan persoalan yang kita anggap akan merugikan
secara serius atau benar-benar akan menguntungkan manusia.
2. Standar moral tidak dapat ditetapkan atau diubah oleh keputusan dewan otoritatif
tertentu.
3. Standar moral harus lebih diutamakan daripada nilai lain termasuk (khususnya)
kepentingan diri.
4. Standar moral berdasarkan pada pertimbangan yang tidak memihak.
5. Standar moral diasosiasikan dengan emosi tertentu dan kosa kata tertentu.
Standar moral, dengan demikian, merupakan standar yang berkaitan dengan persoalan
yang kita anggap mempunyai konsekuensi serius, didasarkan pada penalaran yang baik
bukan otoritas, melampaui kepentingan diri, didasarkan pada pertimbangan yang tidak
memihak, dan yang pelanggarannya diasosiasikan dengan perasaan bersalah dan malu
dan dengan emosi dan kosa kata tertentu.
B. Etika
Etika merupakan ilmu yang mendalami standar moral perorangan dan standar moral
masyarakat. Ia mempertanyakan bagaimana standar-standar diaplikasikan dalam
kehidupan kita dan apakah standar itu masuk akal atau tidak masuk akal – standar, yaitu
apakah didukung dengan penalaran yang bagus atau jelek.
Etika merupakan penelaahan standar moral, proses pemeriksaan standar moral orang atau
masyarakat untuk menentukan apakah standar tersebut masuk akal atau tidak untuk
diterapkan dalam situasi dan permasalahan konkrit. Tujuan akhir standar moral adalah
mengembangkan bangunan standar moral yang kita rasa masuk akal untuk dianut.
Etika merupakan studi standar moral yang tujuan eksplisitnya adalah menentukan standar
yang benar atau yang didukung oleh penalaran yang baik, dan dengan demikian etika
mencoba mencapai kesimpulan tentang moral yang benar benar dan salah, dan moral
yang baik dan jahat.
C. Etika Bisnis
Etika bisnis merupakan studi yang dikhususkan mengenai moral yang benar dan salah.
Studi ini berkonsentrasi pada standar moral sebagaimana diterapkan dalam kebijakan,
institusi, dan perilaku bisnis.
Etika bisnis merupakan studi standar formal dan bagaimana standar itu diterapkan ke
dalam system dan organisasi yang digunakan masyarakat modern untuk memproduksi
dan mendistribusikan barang dan jasa dan diterapkan kepada orang-orang yang ada di
dalam organisasi.
D. Penerapan Etika pada Organisasi Perusahaan
Dapatkan pengertian moral seperti tanggung jawab, perbuatan yang salah dan kewajiban
diterapkan terhadap kelompok seperti perusahaan, ataukah pada orang (individu) sebagai
perilaku moral yang nyata?
Ada dua pandangan yang muncul atas masalah ini :
Ekstrem pertama, adalah pandangan yang berpendapat bahwa, karena aturan yang
mengikat, organisasi memperbolehkan kita untuk mengatakan bahwa perusahaan
bertindak seperti individu dan memiliki tujuan yang disengaja atas apa yang mereka
lakukan, kita dapat mengatakan mereka bertanggung jawab secara moral untuk tindakan
mereka dan bahwa tindakan mereka adalah bermoral atau tidak bermoral dalam
pengertian yang sama yang dilakukan manusia.
Ekstrem kedua, adalah pandangan filsuf yang berpendirian bahwa tidak masuk akal
berpikir bahwa organisasi bisnis secara moral bertanggung jawab karena ia gagal
mengikuti standar moral atau mengatakan bahwa organisasi memiliki kewajiban moral.
Organisasi bisnis sama seperti mesin yang anggotanya harus secara membabi buta
mentaati peraturan formal yang tidak ada kaitannya dengan moralitas. Akibatnya, lebih
tidak masuk akal untuk menganggap organisasi bertanggung jawab secara moral karena
ia gagal mengikuti standar moral daripada mengkritik organisasi seperti mesin yang gagal
bertindak secara moral.
Karena itu, tindakan perusahaan berasal dari pilihan dan tindakan individu manusia,
indivdu-individulah yang harus dipandang sebagai penjaga utama kewajiban moral dan
tanggung jawab moral : individu manusia bertanggung jawab atas apa yang dilakukan
perusahaan karena tindakan perusahaan secara keseluruhan mengalir dari pilihan dan
perilaku mereka. Jika perusahaan bertindak keliru, kekeliruan itu disebabkan oleh pilihan
tindakan yang dilakukan oleh individu dalam perusahaan itu, jika perusahaan bertindak
secara moral, hal itu disebabkan oleh pilihan individu dalam perusahaan bertindak secara
bermoral.
E. Globalisasi, Perusahaan Multinasional dan Etika Bisnis
Globalisasi adalah proses yang meliputi seluruh dunia dan menyebabkan system ekonomi
serta sosial negara-negara menjadi terhubung bersama, termasuk didalamnya barangbarang,
jasa, modal, pengetahuan, dan peninggalan budaya yang diperdagangkan dan
saling berpindah dari satu negara ke negara lain. Proses ini mempunyai beberapa
komponen, termasuk didalamnya penurunan rintangan perdagangan dan munculnya pasar
terbuka dunia, kreasi komunikasi global dan system transportasi seperti internet dan
pelayaran global, perkembangan organisasi perdagangan dunia (WTO), bank dunia, IMF,
dan lain sebagainya.
Perusahaan multinasional adalah inti dari proses globalisasi dan bertanggung jawab
dalam transaksi internasional yang terjadi dewasa ini. Perusahaan multinasional adalah
perusahaan yang bergerak di bidang yang menghasilkan pemasaran, jasa atau operasi
administrasi di beberapa negara. Perusahaan multinasional adalah perusahaan yang
melakukan kegiatan produksi, pemasaran, jasa dan beroperasi di banyak negara yang
berbeda.
Karena perusahaan multinasional ini beroperasi di banyak negara dengan ragam budaya
dan standar yang berbeda, banyak klaim yang menyatakan bahwa beberapa perusahaan
melanggar norma dan standar yang seharusnya tidak mereka lakukan.
F. Etika Bisnis dan Perbedaan Budaya
Relativisme etis adalah teori bahwa, karena masyarakat yang berbeda memiliki
keyakinan etis yang berbeda. Apakah tindakan secara moral benar atau salah, tergantung
kepada pandangan masyarakat itu. Dengan kata lain, relativisme moral adalah pandangan
bahwa tidak ada standar etis yang secara absolute benar dan yang diterapkan atau harus
diterapkan terhadap perusahaan atau orang dari semua masyarakat. Dalam penalaran
moral seseorang, dia harus selalu mengikuti standar moral yang berlaku dalam
masyarakat manapun dimana dia berada.
Pandangan lain dari kritikus relativisme etis yang berpendapat, bahwa ada standar moral
tertentu yang harus diterima oleh anggota masyarakat manapun jika masyarakat itu akan
terus berlangsung dan jika anggotanya ingin berinteraksi secara efektif.
Relativisme etis mengingatkan kita bahwa masyarakat yang berbeda memiliki keyakinan
moral yang berbeda, dan kita hendaknya tidak secara sederhana mengabaikan keyakinan
moral kebudayaan lain ketika mereka tidak sesuai dengan standar moral kita.
G. Teknologi dan Etika Bisnis
Teknologi yang berkembang di akhir dekade abad ke-20 mentransformasi masyarakat
dan bisnis, dan menciptakan potensi problem etis baru. Yang paling mencolok adalah
revolusi dalam bioteknologi dan teknologi informasi. Teknologi menyebabkan beberapa
perubahan radikal, seperti globalisasi yang berkembang pesat dan hilangnya jarak,
kemampuan menemukan bentuk-bentuk kehidupan baru yang keuntungan dan resikonya
tidak terprediksi. Dengan perubahan cepat ini, organisasi bisnis berhadapan dengan
setumpuk persoalan etis baru yang menarik.
1.2 PERKEMBANGAN MORAL DAN PENALARAN MORAL
A. Perkembangan Moral
Riset psikologi menunjukkan bahwa, perkembangan moral seseorang dapat berubah
ketika dewasa. Saat anak-anak, kita secara jujur mengatakan apa yang benar dan apa
yang salah, dan patuh untuk menghindari hukuman. Ketika tumbuh menjadi remaja,
standar moral konvensional secara bertahap diinternalisasikan. Standar moral pada tahap
ini didasarkan pada pemenuhan harapan keluarga, teman dan masyarakat sekitar. Hanya
sebagian manusia dewasa yang rasional dan berpengalaman memiliki kemampuan
merefleksikan secara kritis standar moral konvensional yang diwariskan keluarga, teman,
budaya atau agama kita. Yaitu standar moral yang tidak memihak dan yang lebih
memperhatikan kepentingan orang lain, dan secara memadai menyeimbangkan perhatian
terhadap orang lain dengan perhatian terhadap diri sendiri.
Menurut ahli psikologi, Lawrence Kohlberg, dengan risetnya selama 20 tahun,
menyimpulkan, bahwa ada 6 tingkatan (terdiri dari 3 level, masing-masing 2 tahap) yang
teridentifikasi dalam perkembangan moral seseorang untuk berhadapan dengan isu-isu
moral. Tahapannya adalah sebagai berikut :
1) Level satu : Tahap Prakonvensional
Pada tahap pertama, seorang anak dapat merespon peraturan dan ekspektasi sosial dan
dapat menerapkan label-label baik, buruk, benar dan salah.
Tahap satu : Orientasi Hukuman dan Ketaatan
Pada tahap ini, konsekuensi fisik sebuah tindakan sepenuhnya ditentukan oleh kebaikan
atau keburukan tindakan itu. Alasan anak untuk melakukan yang baik adalah untuk
menghindari hukuman atau menghormati kekuatan otoritas fisik yang lebih besar.
Tahap dua : Orientasi Instrumen dan Relativitas
Pada tahap ini, tindakan yang benar adalah yang dapat berfungsi sebagai instrument
untuk memuaskan kebutuhan anak itu sendiri atau kebutuhan mereka yang dipedulikan
anak itu.
2) Level dua : Tahap Konvensional
Pada level ini, orang tidak hanya berdamai dengan harapan, tetapi menunjukkan loyalitas
terhadap kelompok beserta norma-normanya. Remaja pada masa ini, dapat melihat situasi
dari sudut pandang orang lain, dari perspektif kelompok sosialnya.
Tahap Tiga : Orientasi pada Kesesuaian Interpersonal
Pada tahap ini, melakukan apa yang baik dimotivasi oleh kebutuhan untuk dilihat sebagai
pelaku yang baik dalam pandangannya sendiri dan pandangan orang lain.
Tahap Empat : Orientasi pada Hukum dan Keteraturan
Benar dan salah pada tahap konvensional yang lebih dewasa, kini ditentukan oleh
loyalitas terhadap negara atau masyarakat sekitarnya yang lebih besar. Hukum dipatuhi
kecuali tidak sesuai dengan kewajiban sosial lain yang sudah jelas.
3) Level tiga : Tahap Postkonvensional, Otonom, atau Berprinsip
Pada tahap ini, seseorang tidak lagi secara sederhana menerima nilai dan norma
kelompoknya. Dia justru berusaha melihat situasi dari sudut pandang yang secara adil
mempertimbangkan kepentingan orang lain. Dia mempertanyakan hukum dan nilai yang
diadopsi oleh masyarakat dan mendefinisikan kembali dalam pengertian prinsip moral
yang dipilih sendiri yang dapat dijustifikasi secara rasional. Hukum dan nilai yang pantas
adalah yang sesuai dengan prinsip-prinsip yang memotivasi orang yang rasional untuk
menjalankannya.
Tahap Lima : Orientasi pada Kontrak Sosial
Tahap ini, seseorang menjadi sadar bahwa mempunyai beragam pandangan dan pendapat
personal yang bertentangan dan menekankan cara yang adil untuk mencapai consensus
dengan kesepahaman, kontrak, dan proses yang matang. Dia percaya bahwa nilai dan
norma bersifat relative, dan terlepas dari consensus demokratis semuanya diberi toleransi.
Tahap Enam : Orientasi pada Prinsip Etika yang Universal
Tahap akhir ini, tindakan yang benar didefinisikan dalam pengertian prinsip moral yang
dipilih karena komprehensivitas, universalitas, dan konsistensi. Alasan seseorang untuk
melakukan apa yang benar berdasarkan pada komitmen terhadap prinsip-prinsip moral
tersebut dan dia melihatnya sebagai criteria untuk mengevaluasi semua aturan dan
tatanan moral yang lain.
Teori Kohlberg membantu kita memahami bagaimana kapasitas moral kita berkembang
dan memperlihatkan bagaimana kita menjadi lebih berpengalaman dan kritis dalam
menggunakan dan memahami standar moral yang kita punyai. Namun tidak semua orang
mengalami perkembangan, dan banyak yang berhenti pada tahap awal sepanjang
hidupnya. Bagi mereka yang tetap tinggal pada tahap prakonvensional, benar atau salah
terus menerus didefinisikan dalam pengertian egosentris untuk menghindari hukuman
dan melakukan apa yang dikatakan oleh figur otoritas yang berkuasa. Bagi mereka yang
mencapai tahap konvensional, tetapi tidak pernah maju lagi, benar atau salah selalu
didefinisikan dalam pengertian norma-norma kelompok sosial mereka atau hukum negara
atau masyarakat mereka. Namun demikian, bagi yang mencapai level postkonvensional
dan mengambil pandangan yang reflektif dan kritis terhadap standar moral yang mereka
yakini, benar dan salah secara moral didefinisikan dalam pengertian prinsip-prinsip moral
yang mereka pilih bagi mereka sendiri sebagai yang lebih rasional dan memadai.
B. Penalaran Moral
Penalaran moral mengacu pada proses penalaran dimana prilaku, institusi, atau kebijakan
dinilai sesuai atau melanggar standar moral. Penalaran moral selalu melibatkan dua
komponen mendasar :
1. Pemahaman tentang yang dituntut, dilarang, dinilai atau disalahkan oleh standar
moral yang masuk akal.
2. Bukti atau informasi yang menunjukkan bahwa orang, kebijakan, institusi, atau
prilaku tertentu mempunyai ciri-ciri standar moral yang menuntut, melarang,
menilai, atau menyalahkan.
3. Menganalisis Penalaran Moral
Ada beberapa criteria yang digunakan para ahli etika untuk mengevaluasi kelayakan
penalaran moral, yaitu :
• Penalaran moral harus logis.
• Bukti factual yang dikutip untuk mendukung penilaian harus akurat, relevan dan
lengkap.
• Standar moral yang melibatkan penalaran moral seseorang harus konsisten.
1.3 ARGUMEN YANG MENDUKUNG DAN YANG MENETANG ETIKA BISNIS
Banyak yang keberatan dengan penerapan standar moral dalam aktivitas bisnis. Bagian
ini membahas keberatan-keberatan tersebut dan melihat apa yang dapat dikatakan
berkenaan dengan kesetujuan untuk menerapkan etika ke dalam bisnis.
Tiga keberatan atas penerapan etika ke dalam bisnis :
Orang yang terlibat dalam bisnis, kata mereka hendaknya berfokus pada pencarian
keuntungan finansial bisnis mereka dan tidak membuang-buang energi mereka atau
sumber daya perusahaan untuk melakukan ”pekerjaan baik”. Tiga argumen diajukan
untuk mendukung perusahaan ini :
Pertama, beberapa berpendapat bahwa di pasar bebas kompetitif sempurna, pencarian
keuntungan dengan sendirinya menekankan bahwa anggota masyarakat berfungsi dengan
cara-cara yang paling menguntungkan secara sosial. Agar beruntung, masing-masing
perusahaan harus memproduksi hanya apa yang diinginkan oleh anggota masyarakat dan
harus melakukannya dengan cara yang paling efisien yang tersedia. Anggota masyarakat
akan sangat beruntung jika manajer tidak memaksakan nilai-nilai pada bisnis, namun
mengabdikan dirinya pada pencarian keuntungan yang berfokus.
Argumen tersebut menyembunyikan sejumlah asumsi yaitu : Pertama, sebagian besar
industri tidak ”kompetitif secara sempurna”, dan sejauh sejauh perusahaan tidak harus
berkompetisi, mereka dapat memaksimumkan keuntungan sekalipun produksi tidak
efisien. Kedua, argumen itu mengasumsikan bahwa langkah manapun yang diambil untuk
meningkatkan keuntungan, perlu menguntungkan secara sosial, sekalipun dalam
kenyataannya ada beberapa cara untuk meningkatkan keuntungan yang sebenarnya
merugikan perusahaan : membiarkan polusi, iklan meniru, menyembunyikan cacat
produksi, penyuapan. Menghindari pajak, dsb. Ketiga, argumen itu mengasumsikan
bahwa dengan memproduksi apapun yang diinginkan publik pembeli, perusahaan
memproduksi apa yang diinginkan oleh seluruh anggota masyarakat, ketika kenyataan
keinginan sebagian besar anggota masyarakat (yang miskin dan dan tidak diuntungkan)
tidak perlu dipenuhi karena mereka tidak dapat berpartisipasi dalam pasar. Keempat,
argumen itu secara esensial membuat penilaian normatif.
Kedua, Kadang diajukan untuk menunjukan bahwa manajer bisnis hendaknya berfokus
mengejar keuntungan perusahaan mereka dan mengabaikan pertimbangan etis, yang oleh
Ale C. Michales disebut ”argumen dari agen yang loyal”. Argumen tersebut secara
sederhana adalah sbb :
Sebagai agen yang loyal dari majikannya manajer mempunyai kewajiban untuk melayani
majikannya ketika majikan ingin dilayani (jika majikan memiliki keakhlian agen).
Majikan ingin dilayani dengan cara apapun yang akan memajukan kepentingannya
sendiri. Dengan demikian sebagai agen yang loyal dari majikannya, manajer mempunyai
kewajiban untuk melayani majikannya dengan cara apapun yang akan memajukan
kepentingannya.
Argumen agen yang loyal adalah keliru, karena ”dalam menentukan apakah perintah
klien kepada agen masuk akal atau tidak... etika bisnis atau profesional harus
mempertimbangkan” dan ”dalam peristiwa apapun dinyatakan bahwa agen mempunyai
kewajiban untuk tidak melaksanakan tindakan yang ilegal atau tidak etis”. Dengan
demikian, kewajiban manajer untuk mengabdi kepada majikannya, dibatasi oleh batasanbatasan
moralitas.
Ketiga, untuk menjadi etis cukuplah bagi orang-orang bisnis sekedar mentaati hukum :
Etika bisnis pada dasarnya adalah mentaati hukum.
Terkadang kita salah memandang hukum dan etika terlihat identik. Benar bahwa hukum
tertentu menuntut perilaku yang sama yang juga dituntut standar moral kita. Namun
demikian, hukum dan moral tidak selalu serupa. Beberapa hukum tidak punya kaitan
dengan moralitas, bahkan hukum melanggar standar moral sehingga bertentangan dengan
moralitas, seperti hukum perbudakan yang memperbolehkan kita memperlakukan budak
sebagai properti. Jelas bahwa etika tidak begitu saja mengikuti hukum.
Namun tidak berarti etika tidak mempunyai kaitan dengan hukum. Standar Moral kita
kadang dimasukan ke dalam hukum ketika kebanyakan dari kita merasa bahwa standar
moral harus ditegakkan dengan kekuatan sistem hukum sebaliknya, hukum dikritik dan
dihapuskan ketika jelas-jelas melanggar standar moral.
Kasus etika dalam bisnis
Etika seharusnya diterapkan dalam bisnis dengan menunjukan bahwa etika mengatur
semua aktivitas manusia yang disengaja, dan karena bisnis merupakan aktitivitas manusia
yang disengaja, etika hendaknya juga berperan dalam bisnis. Argumen lain berpandangan
bahwa, aktivitas bisnis, seperti juga aktivitas manusia lainnya, tidak dapat eksis kecuali
orang yang terlibat dalam bisnis dan komunitas sekitarnya taat terhadap standar minimal
etika. Bisnis merupakan aktivitas kooperatif yang eksistensinya mensyaratkan perilaku
etis.
Dalam masyarakat tanpa etika, seperti ditulis oleh filsuf Hobbes, ketidakpercayaan dan
kepentingan diri yang tidak terbatas akan menciptakan ”perang antar manusia terhadap
manusia lain”, dan dalam situasi seperti itu hidup akan menjadi ”kotor, brutal, dan
dangkal”. Karenanya dalam masyarakat seperti itu, tidak mungkin dapat melakukan
aktivitas bisnis, dan bisnis akan hancur. Katena bisnis tidak dapat bertahan hidup tanpa
etika, maka kepentingan bisnis yang paling utama adalah mempromosikan perilaku etika
kepada anggotanya dan juga masyarakat luas.
Etika hendaknya diterapkan dalam bisnis dengan menunjukan bahwa etika konsisten
dengan tujuan bisnis, khususnya dalam mencari keuntungan. Contoh Merck dikenal
karena budaya etisnya yang sudah lama berlangsung, namun ia tetap merupakan
perusahaan yang secara spektakuler mendapatkan paling banyak keuntungan sepanjang
masa.
Apakah ada bukti bahwa etika dalam bisnis secara sistematis berkorelasi dengan
profitabilitas? Apakah Perusahaan yang etis lebih menguntungkan dapripada perusahaan
lainnya ?
Beberapa studi menunjukan hubungan yang positif antara perilaku yang bertanggung
jawab secara sosial dengan profitabilitas, beberapa tidak menemukan korelasi bahwa
etika bisnis merupakan beban terhadap keuntungan. Studi lain melihat, perusahaan yang
bertanggung jawab secara sosial bertransaksi di pasar saham, memperoleh pengembalian
yang lebih tinggi daripada perusahaan lainnya. Semua studi menunjukan bahwa secara
keseluruhan etika tidak memperkecil keuntungan, dan tampak justru berkontribusi pada
keuntungan.
Dalam jangka panjang, untuk sebagian besar, lebih baik menjadi etis dalam bisnis dari
pada tidak etis. Meskipun tidak etis dalam bisnis kadang berhasil, namun perilaku tidak
etis ini dalam jangka panjang, cenderung menjadi kekalahan karena meruntuhkan
hubungan koperatif yang berjangka lama dengan pelanggan, karyawan dan anggota
masyarakat dimana kesuksesan disnis sangat bergantung.
Akhirnya kita harus mengetahui ada banyak bukti bahwa sebagian besar orang akan
menilai perilaku etis dengan menghukum siapa saja yang mereka persepsi berperilaku
tidak etis, dan menghargai siapa saja yang mereka persepsi berperilaku etis. Pelanggan
akan melawan perusahaan jika mereka mempersepsi ketidakadilan yang dilakukan
perusahaan dalam bisnis lainnya, dan mengurangi minat mereka untuk membeli
produknya. Karyawan yang merasakan ketidakadilan, akan menunjukan absentisme lebih
tinggi, produktivitas lebih rendah, dan tuntutan upah lebih tinggi. Sebaliknya, ketika
karyawan percaya bahwa organisasi adil, akan senang mengikuti manajer. Melakukan
apapun yang dikatakan manajer, dan memandang keputusan manajer sah. Ringkasnya,
etika merupakan komponen kunci manajemen yang efektif.
Dengan demikian, ada sejumlah argumen yang kuat, yang mendukung pandangan bahwa
etika hendaknya diterapkan dalam bisnis.
1.4 TANGGUNG JAWAB DAN KEWAJIBAN MORAL
Kapankah secara moral seseorang bertanggung jawab atau disalahkan, karena melakukan
kesalahan? Seseorang secara moral bertanggung jawab atas tindakannya dan efek-efek
merugikan yang telah diketahui ;
a. Yang dilakukan atau dilaksanakan seseorang dengan sengaja dan secara bebas
b. Yang gagal dilakukan atau dicegah dan yang secara moral keliru karena orang itu
dengan sengaja atau secara bebas gagal melaksanakan atau mencegahnya.
Ada kesepakatan umum, bahwa ada dua kondisi yang sepenuhnya menghilangkan
tanggung jawab moral seseorang karena menyebabkan kerugian ;
1. Ketidaktahuan
2. Ketidakmampuan
Keduanya disebut kondisi yang memaafkan karena sepenuhnya memaafkan orang dari
tanggung jawab terhadap sesuatu. Jika seseorang tidak mengetahui, atau tidak dapat
menghindari apa yang dia lakukan, kemudian orang itu tidak berbuat secara sadar, ia
bebas dan tidak dapat dipersalahkan atas tindakannya. Namun, ketidaktahuan dan
ketidakmampuan tidak selalu memaafkan seseorang, salah satu pengecualiannya adalah
ketika seseorang mungkin secara sengaja, membiarkan dirinya tidak mau mengetahui
persoalan tertentu.
Ketidakmampuan bisa jadi merupakan akibat lingkungan internal dan eksternal yang
menyebabkan seseorang tidak dapat melakukan sesuatu atau tidak dapat menahan
melakukan sesuatu. Seseorang mungkin kekurangan kekuasaan, keahlian, kesempatan
atau sumber daya yang mencukupi untuk bertindak. Seseorang mungkin secara fisik
terhalang atau tidak dapat bertindak, atau pikiran orang secara psikologis cacat sehingga
mencegahnya mengendalikan tindakannya. Ketidakmampuan mengurangi tanggung
jawab karena seseorang tidak mempunyai tanggung jawab untuk melakukan (atau
melarang melakukan) sesuatu yang tidak dapat dia kendalikan. Sejauh lingkungan
menyebabkan seseorang tidak dapat mengendalikan tindakannya atau mencegah kerugian
tertentu, adalah keliru menyalahkan orang itu.
Sebagai tambahan atas dua kondisi yang memaklumkan itu (ketidaktahuan dan
ketidakmampuan), yang sepenuhnya menghilangkan tanggung jawab moral seseorang
karena kesalahan, ada juga beberapa faktor yang memperingan, yang meringankan
tanggung jawab moral seseorang yang tergantung pada kejelasan kesalahan. Faktor yang
memperingan mencakup :
• Lingkungan yang mengakibatkan orang tidak pasti, namun tidak juga tidak yakin
tentang apa yang sedang dia lakukan ( hal tersebut mempengaruhi pengetahuan
seseorang)
• Lingkungan yang menyulitkan, namun bukan tidak mungkin untuk menghindari
melakukannya (hal ini mempengaruhi kebebasan seseorang)
• Lingkungan yang mengurangi namun tidak sepenuhnya menghilangkan
keterlibatan seseorang dalam sebuah tindakan (ini mempengaruhi tingkatan
sampai dimana seseorang benar-benar menyebabkan kerugian)
Hal tersebut dapat memperingan tanggung jawab seseorang karena kelakuan yang keliru
yang tergantung pada faktor keempat, yaitu keseriusan kesalahan.
Kesimpulan mendasar tentang tanggung jawab moral atas kesalahan atau kerugian yang
memperingan tanggung jawab moral seseorang yaitu :
1. Secara moral individu, bertanggung jawab atas tindakan yang salah yang dia
lakukan (atau yang secara keliru dia lalaikan) dan atas efek-efek kerugian yang
disebabkan (atau yang gagal dia cegah) ketika itu dilakukan dengan bebas dan
sadar.
2. Tanggung jawab moral sepenuhnya dihilangkan (atau dimaafkan) oleh
ketidaktahuan dan ketidakmampuan
3. Tanggung jawab moral atas kesalahan atau kerugian diringankan oleh :
• Ketidak pastian
• Kesulitan
Bobot keterlibatan yang kecil (meskipun kegagalan tidak memperingan jika seseorang
mempunyai tugas khusus untuk mencegah kesalahan), namun cakupan sejauh mana halhal
tersebut memperingan tanggung jawab moral seseorang kepada (dengan) keseriusan
kesalahan atau kerugian. Semakin besar keseriusannya, semakin kecil ketiga faktor
pertama tadi dapat meringankan.
Para kritikus berdebat, apakah semua faktor yang meringankan itu benar-benar
mempengaruhi tanggung jawab seseorang? Beberapa berpendapat bahwa, kejahatan tidak
pernah diterima, tidak peduli tekanan apakah yang terjadi pada seseorang. Kritikus lain
berpendapat, membiarkan secara pasif suatu kesalahan terjadi, tidak berbeda dengan
secara aktif menyebabkan suatu kesalahan terjadi.
A. Tanggung Jawab Perusahaan
Dalam perusahaan modern, tanggung jawab atas tindakan perusahaan sering
didistribusikan kepada sejumlah pihak yang bekerja sama. Tindakan perusahaan biasanya
terdiri atas tindakan atau kelalaian orang-orang berbeda yang bekerja sama sehingga
tindakan atau kelalaian mereka bersama-sama menghasilkan tindakan perusahaan. Jadi,
siapakah yang bertanggung jawab atas tindakan yang dihasilkan bersama-sama itu?
Pandangan tradisional berpendapat bahwa mereka yang melakukan secara sadar dan
bebas apa yang diperlukan perusahaan, masing-masing secara moral bertanggung jawab.
Lain halnya pendapat para kritikus pandangan tradisional, yang menyatakan bahwa
ketika sebuah kelompok terorganisasi seperti perusahaan bertindak bersama-sama,
tindakan perusahaan mereka dapat dideskripsikan sebagai tindakan kelompok, dan
konsekuensinya tindakan kelompoklah, bukan tindakan individu, yang mengharuskan
kelompok bertanggung jawab atas tindakan tersebut.
Kaum tradisional membantah bahwa, meskipun kita kadang membebankan tindakan
kepada kelompok perusahaan, fakta legal tersebut tidak mengubah realitas moral dibalik
semua tindakan perusahaan itu. Individu manapun yang bergabung secara sukarela dan
bebas dalam tindakan bersama dengan orang lain, yang bermaksud menghasilkan
tindakan perusahaan, secara moral akan bertanggung jawab atas tindakan itu.
Namun demikian, karyawan perusahaan besar tidak dapat dikatakan “dengan sengaja dan
dengan bebas turut dalam tindakan bersama itu” untuk menghasilkan tindakan
perusahaan atau untuk mengejar tujuan perusahaan. Seseorang yang bekerja dalam
struktur birokrasi organisasi besar tidak harus bertanggung jawab secara moral atas setiap
tindakan perusahaan yang turut dia bantu, seperti seorang sekretaris, juru tulis, atau
tukang bersih-bersih di sebuah perusahaan. Faktor ketidaktahuan dan ketidakmampuan
yang meringankan dalam organisasi perusahaan birokrasi berskala besar, sepenuhnya
akan menghilangkan tanggung jawab moral orang itu.
B. Tanggung Jawab Bawahan
Dalam perusahaan, karyawan sering bertindak berdasarkan perintah atasan mereka.
Perusahaan biasanya memiliki struktur yang lebih tinggi ke beragam agen pada level
yang lebih rendah. Jadi, siapakah yang harus bertanggung jawab secara moral ketika
seorang atasan memerintahkan bawahannya untuk melakukan tindakan yang mereka
ketahui salah.
Orang kadang berpendapat bahwa, ketika seorang bawahan bertindak sesuai dengan
perintah atasannya yang sah, dia dibebaskan dari semua tanggung jawab atas tindakan itu.
Hanya atasan yang secara moral bertanggung jawab atas tindakan yang keliru, bahkan
jika bawahan adalah agen yang melakukannya. Pendapat tersebut keliru, karena
bagaimanapun tanggung jawab moral menuntut seseorang bertindak secara bebas dan
sadar, dan tidak relevan bahwa tindakan seseorang yang salah merupakan pilihan secara
bebas dan sadar mengikuti perintah. Ada batas-batas kewajiban karyawan untuk mentaati
atasannya. Seorang karyawan tidak mempunyai kewajiban untuk mentaati perintah
melakukan apapun yang tidak bermoral.
Dengan demikian, ketika seorang atasan memerintahkan seorang karyawan untuk
melakukan sebuah tindakan yang mereka ketahui salah, karyawan secara moral
bertanggung jawab atas tindakan itu jika dia melakukannya. Atasan juga bertanggung
jawab secara moral, karena fakta atasan menggunakan bawahan untuk melaksanakan
tindakan yang salah tidak mengubah fakta bahwa atasan melakukannya.
HAL – HAL YANG MENARIK
1. Dasar Etika adalah Moral
Apa yang dimaksud dengan etika? Menurut kamus ada banyak arti dari etika diantaranya
adalah :
• Prinsip – prinsip yang digunakan untuk mengatur prilaku individu atau kelompok
• Pelajaran tentang moral
Definisi Moralitas adalah :
“Aturan-aturan yang dimiliki perorangan atau kelompok tentang apa-apa yang benar dan
apa-apa yang salah, atau apa-apa yang baik dan yang jahat.”
Sedangkan yang dimaksud dengan standar moral adalah :
“Norma-norma yang kita miliki tentang jenis-jenis tindakan yang kita percaya secara
moral benar atau salah.”
2. Moral Lebih ke Arah Individu
Organisasi perusahaan akan eksis bila :
“Ada individu – individu manusia dengan hubungan dan lingkungan tertentu.”
Karena tindakan perusahaan dilakukan oleh pilihan dan tindakan individu-individu di
dalamnya. Maka individu-individu tadi yang harus dilihat sebagai penghalang dan
pelaksana utama dari tugas moral, tanggung jawab moral perusahaan.
Individu-individu manusia tadi bertanggung jawab pada apa yang dilakukan oleh
perusahaan, karena tindakan perusahaan berlangsung karena pilihan-pilihan mereka dan
prilaku individu-individu tadi. Sehingga perusahaan mempunyai tugas moral untuk
melakukan sesuatu bila anggota perusahaan tersebut mempunyai tanggung jawab moral
untuk melakukan sesuatu.
3. Pencapai Tetinggi dari Etika adalah Berorientasi pada Prinsip Etika Universal
Tingkat final, tindakan yang benar dilakukan berdasarkan prinsip moral karena logis,
universality dan konsistensi.
Universality artinya suara hati, di dalam istilah ESQ disebut anggukan universal yang
mengacu kepada God Spot.
4. Kasus WorldCom dan Enron
4.1 Kasus WorldCom
Di dalam laporan keuangan WorldCom’s, Scott Sulivan memindahkan $ 400 juta dari
reserved account ke “income”. Dia juga selama bertahun-tahun melaporkan trilyunan
dolar biaya operasi sebagai “capital expenditure”.
Dia bisa melakukan ini dengan bantuan firm accounting dan auditor terkenal “Arthur
Andersen”. Padahal Scott Sullivan, pernah mendapat penghargaan sebagai Best CFO oleh
CFO Magazine tahun 1998.
4.2 Kasus Enron
Pada terbitan April 2001, majalah Fortune menjuluki Enron sebagai perusahaan paling
innovative di Amerika “Most Innovative” dan menduduki peringkat 7 besar perusahaan
di Amerika. Enam bulan kemudian (Desember 2001) Enron diumumkan bangkrut.
Kejadian ini dijuluki sebagai “Penipuan accounting terbesar di abad ke 20”. Dua belas
ribu karyawan kehilangan pekerjaan. Pemegang saham-saham Enron kehilangan US$ 70
Trilyun dalam sekejap ketika nilai sahamnya turun menjadi nol.
Kejadian ini terjadi dengan memanfaatkan celah di bidang akuntansi. Andrew Fastow,
Chief Financial officer bekerjasama dengan akuntan public Arthur Andersen,
memanfaatkan celah di bidang akuntansi, yaitu dengan menggunakan “special purpose
entity”, karena aturan accounting memperbolehkan perusahaan untuk tidak melaporkan
keuangan special purpose entity bila ada pemilik saham independent dengan nilai
minimum 3%.
Dengan special purpose entity tadi, kemudian meminjam uang ke bank dengan
menggunakan jaminan saham Enron. Uang hasil pinjaman tadi digunakan untuk
menghidupi bisnis Enron.
4.3 Bahasan Kasus
Dari kasus WorldCom’s dan Enron diatas, dapat diamati bahwa walaupun sudah ada
aturan yang jelas mengatur system accounting, tetapi kalau manusia yang mengatur tadi
tidak bermoral dan tidak beretika maka mereka akan memanfaatkan celah yang ada untuk
kepentingan mereka.
4.4 Pandangan Velasquez tentang Etika Bisnis di Arab Saudi
Menurut Velasquez, Arab Saudi adalah tempat kelahiran Islam, yang menggunakan
landasan Islam Suni sebagai hukum, kebijakan dan system sosialnya. Tetapi di Arab
Saudi tidak dikenal “basic right” (keadilan dasar, seperti tidak ada demokrasi, tidak ada
kebebasan berbicara, tidak ada kebebasan pers, tidak mengenal peradilan dengan system
juri, tidak mengenal kebebasan beragama dan diskriminasi terhadap wanita. Sehingga
menurut Velasquez, di Arab Saudi tidak mengenal hak azazi manusia.
BAHASAN
Velasquez menyatakan, Arab Saudi adalah contoh Etika Islam, dengan alasan sederhana
karena Islam lahir disana. Tetapi dia lupa bahwa Agama Kristen dan Yahudi juga tidak
lahir di Eropa atau di Amerika. Dia mengeneralisir bahwa Arab Saudi adalah Islam.
Padahal Arab Saudi bukan merupakan penggambaran negara Islam yang dicontohkan
Nabi Muhammad SAW. Dalam jaman Rasul dan empat sahabat penerusnya dikenal
istilah demokrasi dan kebebasan beragama.
HAL – HAL MENARIK MENJADI BAHAN DISKUSI
1. Bagaimana pendekatan etika yang harus out-in atau in-out
• Out- in adalah proses pengawasan dari luar ke dalam, harus ada aturan main atau
bisnis proses yang jelas dan transparan sehingga etika bisnis bisa berjalan,
misalnya ada good corporate governance, balance scorecard, atau Malcolm
baldrige
• In- out adalah pendekatan dari sisi individu pelaku bisnis, pelaku dari etika adalah
invidu dan setiap individu harus menjalankan etika bisnis.
• Dalam kasus Enron dan WorldCom’s, walaupun sudah ada system yang sangat
baik dan well defined is organized, masih saja “oknum” manusia mencari celah
diantara aturan main tersebut.
• Bagaimanakah sebaiknya implementasi etika bisnis yang baik, dengan pendekatan
in-out, out-in, atau ambivalent dengan menerapkan keduanya.
2. Apakah etika itu pesan universal horizontal – kewajiban vertical
• Dasar dari etika adalah kajian terhadap moralitas, dan moralitas tadi mengaju
kepada individu.
• Sedangkan pencapai tertinggi dari moral adalah Orientasi Prinsip Etis Universal
• Velasquez menyatakan etika itu lebih abstrak daripada “Ten Commandements”
• Apakah etika itu pesan universal horizontal (manusia ke manusia) minus nilai
kewajiban vertical (Agama) ?
CONTOH PELANGGARAN ETIKA BISNIS
• Pelanggaran etika bisnis terhadap hukum
Sebuah perusahaan X karena kondisi perusahaan yang pailit akhirnya memutuskan untuk
Melakukan PHK kepada karyawannya. Namun dalam melakukan PHK itu, perusahaan
sama sekali tidak memberikan pesongan sebagaimana yang diatur dalam UU No. 13/2003
tentang Ketenagakerjaan. Dalam kasus ini perusahaan x dapat dikatakan melanggar
prinsip kepatuhan terhadap hukum.
• Pelanggaran etika bisnis terhadap transparansi
Sebuah Yayasan X menyelenggarakan pendidikan setingkat SMA. Pada tahun ajaran
baru sekolah mengenakan biaya sebesar Rp 500.000,- kepada setiap siswa baru. Pungutan
sekolah ini sama sekali tidak diinformasikan kepada mereka saat akan mendaftar,
sehingga setelah diterima mau tidak mau mereka harus membayar. Disamping itu tidak
ada informasi maupun penjelasan resmi tentang penggunaan uang itu kepada wali murid.
Setelah didesak oleh banyak pihak, Yayasan baru memberikan informasi bahwa uang itu
dipergunakan untuk pembelian seragama guru. Dalam kasus ini, pihak Yayasan dan
sekolah dapat dikategorikan melanggar prinsip transparansi
• Pelanggaran etika bisnis terhadap akuntabilitas
Sebuah RS Swasta melalui pihak Pengurus mengumumkan kepada seluruh karyawan
yang akan mendaftar PNS secara otomotais dinyatakan mengundurkan diri. A sebagai
salah seorang karyawan di RS Swasta itu mengabaikan pengumuman dari pihak pengurus
karena menurut pendapatnya ia diangkat oleh Pengelola dalam hal ini direktur, sehingga
segala hak dan kewajiban dia berhubungan dengan Pengelola bukan Pengurus. Pihak
Pengelola sendiri tidak memberikan surat edaran resmi mengenai kebijakan tersebut.
Karena sikapnya itu, A akhirnya dinyatakan mengundurkan diri. Dari kasus ini RS
Swasta itu dapat dikatakan melanggar prinsip akuntabilitas karena tidak ada kejelasan
fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban antara Pengelola dan Pengurus Rumah
Sakit
• Pelanggaran etika bisnis terhadap prinsip pertanggungjawaban
Sebuah perusahaan PJTKI di Jogja melakukan rekrutmen untuk tenaga baby sitter. Dalam
pengumuman dan perjanjian dinyatakan bahwa perusahaan berjanji akan mengirimkan
calon TKI setelah 2 bulan mengikuti training dijanjikan akan dikirim ke negara-negara
tujuan. Bahkan perusahaan tersebut menjanjikan bahwa segala biaya yang dikeluarkan
pelamar akan dikembalikan jika mereka tidak jadi berangkat ke negara tujuan. B yang
terarik dengan tawaran tersebut langsung mendaftar dan mengeluarkan biaya sebanyak
Rp 7 juta untuk ongkos administrasi dan pengurusan visa dan paspor. Namun setelah 2
bulan training, B tak kunjung diberangkatkan, bahkan hingga satu tahun tidak ada
kejelasan. Ketika dikonfirmasi, perusahaan PJTKI itu selalu berkilah ada penundaan,
begitu seterusnya. Dari kasus ini dapat disimpulkan bahwa Perusahaan PJTKI tersebut
telah melanggar prinsip pertanggungjawaban dengan mengabaikan hak-hak B sebagai
calon TKI yang seharusnya diberangnka ke negara tujuan untuk bekerja.
• Pelanggaran etika bisnis terhadap prinsip kewajaran
Sebuah perusahaan property ternama di Yogjakarta tidak memberikan surat ijin
membangun rumah dari developer kepada dua orang konsumennya di kawasan kavling
perumahan milik perusahaan tersebut. Konsumen pertama sudah memenuhi
kewajibannya membayar harga tanah sesuai kesepakatan dan biaya administrasi lainnya.
Sementara konsumen kedua masih mempunyai kewajiban membayar kelebihan tanah,
karena setiap kali akan membayar pihak developer selalu menolak dengan alasan belum
ada ijin dari pusat perusahaan (pusatnya di Jakarta). Yang aneh adalah di kawasan
kavling itu hanya dua orang ini yang belum mengantongi izin pembangunan rumah,
sementara 30 konsumen lainnya sudah diberi izin dan rumah mereka sudah dibangun
semuannya. Alasan yang dikemukakan perusahaan itu adalah ingin memberikan pelajaran
kepada dua konsumen tadi karena dua orang ini telah memprovokasi konsumen lainnya
untuk melakukan penuntutan segera pemberian izin pembangunan rumah. Dari kasus ini
perusahaan property tersebut telah melanggar prinsip kewajaran (fairness) karena tidak
memenuhi hak-hak stakeholder (konsumen) dengan alasan yang tidak masuk akal.
• Pelanggaran etika bisnis terhadap prinsip kejujuran
Sebuah perusahaan pengembang di Sleman membuat kesepakatan dengan sebuah
perusahaan kontraktor untuk membangun sebuah perumahan. Sesuai dengan kesepakatan
pihak pengembang memberikan spesifikasi bangunan kepada kontraktor. Namun dalam
pelaksanaannya, perusahaan kontraktor melakukan penurunan kualitas spesifikasi
bangunan tanpa sepengetahuan perusahaan pengembang. Selang beberapa bulan kondisi
bangunan sudah mengalami kerusakan serius. Dalam kasus ini pihak perusahaan
kontraktor dapat dikatakan telah melanggar prinsip kejujuran karena tidak memenuhi
spesifikasi bangunan yang telah disepakati bersama dengan perusahaan pengembang
• Pelanggaran etika bisnis terhadap prinsip empati
Seorang nasabah, sebut saja X, dari perusahaan pembiayaan terlambat membayar
angsuran mobil sesuai tanggal jatuh tempo karena anaknya sakit parah. X sudah
memberitahukan kepada pihak perusahaan tentang keterlambatannya membayar
angsuran, namun tidak mendapatkan respon dari perusahaan. Beberapa minggu setelah
jatuh tempo pihak perusahaan langsung mendatangi X untuk menagih angsuran dan
mengancam akan mengambil mobil yang masih diangsur itu. Pihak perusahaan menagih
dengan cara yang tidak sopan dan melakukan tekanan psikologis kepada nasabah. Dalam
kasus ini kita dapat mengakategorikan pihak perusahaan telah melakukan pelanggaran
prinsip empati pada nasabah karena sebenarnya pihak perusahaan dapat memberikan
peringatan kepada nasabah itu dengan cara yang bijak dan tepat.

ETIKA BISNIS

ETIKA DAN BISNIS
• Apa itu “etika bisnis”?
• Apa saja enam tingkatan dalam membangun moral?
• Perlukah standar moral diaplikasikan dalam bisnis?
• Kapan seseorang secara moral bertanggung jawab untuk perbuatan salahnya?
Tidak ada cara yang paling baik untuk memulai penelaahan hubungan antara etika dan
bisnis selain dengan mengamati, bagaimanakah perusahaan riil telah benar-benar
berusaha untuk menerapkan etika ke dalam bisnis. Perusahaan Merck and Company
dalam menangani masalah “river blindness” sebagai contohnya ;
River blindness adalah penyakit sangat tak tertahankan yang menjangkau 18 juta
penduduk miskin di desa-desa terpencil di pinggiran sungai Afrika dan Amerika Latin.
Penyakit dengan penyebab cacing parasit ini berpindah dari tubuh melalui gigitan lalat
hitam. Cacing ini hidup dibawah kulit manusia, dan bereproduksi dengan melepaskan
jutaan keturunannya yang disebut microfilaria yang menyebar ke seluruh tubuh dengan
bergerak-gerak di bawah kulit, meninggalkan bercak-bercak, menyebabkan lepuh-lepuh
dan gatal yang amat sangat tak tertahankan, sehingga korban kadang-kadang
memutuskan bunuh diri.
Pada tahun 1979, Dr. Wiliam Campbell, ilmuwan peneliti pada Merck and Company,
perusahaan obat Amerika, menemukan bukti bahwa salah satu obat-obatan hewan yang
terjual laris dari perusahaan itu, Invernectin, dapat menyembuhkan parasit penyebab river
blindness. Campbell dan tim risetnya mengajukan permohonan kepada Direktur Merck,
Dr. P. Roy Vagelos, agar mengijinkan mereka mengembangkan obat tersebut untuk
manusia.
Para manajer Merck sadar bahwa kalau sukses mengembangkan obat tersebut, penderita
river blindness terlalu miskin untuk membelinya. Padahal biaya riset medis dan tes klinis
berskala besar untuk obat-obatan manusia dapat menghabiskan lebih dari 100 juta dollar.
Bahkan, kalau obat tersebut terdanai, tidak mungkin dapat mendistribusikannya, karena
penderita tinggal di daerah terpencil. Kalau obat itu mengakibatkan efek samping,
publisitas buruk akan berdampak pada penjualan obat Merck. Kalau obat murah tersedia,
obat dapat diselundupkan ke pasar gelap dan dijual untuk hewan,sehingga
menghancurkan penjualan Invernectin ke dokter hewan yang selama ini menguntungkan.
Meskipun Merck penjualannya mencapai $2 milyar per tahun, namun pendapatan
bersihnya menurun akibat kenaikan biaya produksi, dan masalah lainnya, termasuk
kongres USA yang siap mengesahkan Undang-Undang Regulasi Obat yang akhirnya
akan berdampak pada pendapatan perusahaan. Karena itu, para manajer Merck enggan
membiayai proyek mahal yang menjanjikan sedikit keuntungan, seperti untuk river
blindness. Namun tanpa obat, jutaan orang terpenjara dalam penderitaan menyakitkan.
Setelah banyak dilakukan diskusi, sampai pada kesimpulan bahwa keuntungan
manusiawi atas obat untuk river blindness terlalu signifikan untuk diabaikan. Keuntungan
manusiawi inilah, secara moral perusahaan wajib mengenyampingkanbiaya dan imbal
ekonomis yang kecil. Tahun 1980 disetujuilah anggaran besar untuk mengembangkan
Invernectin versi manusia.
Tujuh tahun riset mahal dilakukan dengan banyak percobaan klinis, Merck berhasil
membuat pil obat baru yang dimakan sekali setahun akan melenyapkan seluruh jejak
parasit penyebab river blindness dan mencegah infeksi baru. Sayangnya tidak ada yang
mau membeli obat ajaib tersebut, termasuk saran kepada WHO, pemerintah AS dan
pemerintah negara-negara yang terjangkit penyakit tersebut, mau membeli untuk
melindungi 85 juta orang beresiko terkena penyakit ini, tapi tak satupun menanggapi
permohonan itu. Akhirnya Merck memutuskan memberikan secara gratis obat tersebut,
namun tidak ada saluran distribusi untuk menyalurkan kepada penduduk yang
memerlukan. Bekerjasama dengan WHO, perusahaan membiayai komite untuk
mendistribusikan obat secara aman kepada negara dunia ketiga, dan memastikan obat
tidak akan dialihkan ke pasar gelap dan menjualnya untuk hewan. Tahun 1996, komite
mendistribusikan obat untuk jutaan orang, yang secara efektif mengubah hidup penderita
dari penderitaan yang amat sangat, dan potensi kebutaan akibat penyakit tersebut.
Merck menginvestasikan banyak uang untuk riset, membuat dan mendistribusikan obat
yang tidak menghasilkan uang, karena menurut Vegalos pilihan etisnya adalah
mengembangkannya, dan penduduk dunia ketiga akan mengingat bahwa Merck
membantu mereka dan akan mengingat di masa yang akan dating. Selama bertahun-tahun
perusahaan belajar bahwa tindakan semacam itu memiliki keuntungan strategis jangka
panjang yang penting.
Para ahli sering berkelakar, bahwa etika bisnis merupakan sebuah kontradiksi istilah
karena ada pertentangan antara etika dan minat pribadi yang berorientasi pada pencarian
keuntungan. Ketika ada konflik antara etika dan keuntungan, bisnis lebih memilih
keuntungan daripada etika.
Buku Business Ethics mengambil pandangan bahwa tindakan etis merupakan strategi
bisnis jangka panjang terbaik bagi perusahaan – sebuah pandangan yang semakin
diterima dalam beberapa tahun belakangan ini.
1.1.ETIKA BISNIS DAN ISU TERKAIT
Menurut kamus, istilah etika memiliki beragam makna berbeda. Salah satu maknanya
adalah “prinsip tingkah laku yang mengatur individu dan kelompok”. Makna kedua
menurut kamus – lebih penting – etika adalah “kajian moralitas”. Tapi meskipun etika
berkaitan dengan moralitas, namun tidak sama persis dengan moralitas. Etika adalah
semacam penelaahan, baik aktivitas penelaahan maupun hasil penelaahan itu sendiri,
sedangkan moralitas merupakan subjek.
A. Moralitas
Moralitas adalah pedoman yang dimiliki individu atau kelompok mengenai apa itu benar
dan salah, atau baik dan jahat.
Pedoman moral mencakup norma-norma yang kita miliki mengenai jenis-jenis tindakan
yang kita yakini benar atau salah secara moral, dan nilai-nilai yang kita terapkan pada
objek-objek yang kita yakini secara moral baik atau secara moral buruk. Norma moral
seperti “selalu katakan kebenaran”, “membunuh orang tak berdosa itu salah”. Nilai-nilai
moral biasanya diekspresikan sebagai pernyataan yang mendeskripsikan objek-objek atau
ciri-ciri objek yang bernilai, semacam “kejujuran itu baik” dan “ketidakadilan itu buruk”.
Standar moral pertama kali terserap ketika masa kanak-kanak dari keluarga, teman,
pengaruh kemasyarakatan seperti gereja, sekolah, televisi, majalah, music dan
perkumpulan.
Hakekat standar moral :
1. Standar moral berkaitan dengan persoalan yang kita anggap akan merugikan
secara serius atau benar-benar akan menguntungkan manusia.
2. Standar moral tidak dapat ditetapkan atau diubah oleh keputusan dewan otoritatif
tertentu.
3. Standar moral harus lebih diutamakan daripada nilai lain termasuk (khususnya)
kepentingan diri.
4. Standar moral berdasarkan pada pertimbangan yang tidak memihak.
5. Standar moral diasosiasikan dengan emosi tertentu dan kosa kata tertentu.
Standar moral, dengan demikian, merupakan standar yang berkaitan dengan persoalan
yang kita anggap mempunyai konsekuensi serius, didasarkan pada penalaran yang baik
bukan otoritas, melampaui kepentingan diri, didasarkan pada pertimbangan yang tidak
memihak, dan yang pelanggarannya diasosiasikan dengan perasaan bersalah dan malu
dan dengan emosi dan kosa kata tertentu.
B. Etika
Etika merupakan ilmu yang mendalami standar moral perorangan dan standar moral
masyarakat. Ia mempertanyakan bagaimana standar-standar diaplikasikan dalam
kehidupan kita dan apakah standar itu masuk akal atau tidak masuk akal – standar, yaitu
apakah didukung dengan penalaran yang bagus atau jelek.
Etika merupakan penelaahan standar moral, proses pemeriksaan standar moral orang atau
masyarakat untuk menentukan apakah standar tersebut masuk akal atau tidak untuk
diterapkan dalam situasi dan permasalahan konkrit. Tujuan akhir standar moral adalah
mengembangkan bangunan standar moral yang kita rasa masuk akal untuk dianut.
Etika merupakan studi standar moral yang tujuan eksplisitnya adalah menentukan standar
yang benar atau yang didukung oleh penalaran yang baik, dan dengan demikian etika
mencoba mencapai kesimpulan tentang moral yang benar benar dan salah, dan moral
yang baik dan jahat.
C. Etika Bisnis
Etika bisnis merupakan studi yang dikhususkan mengenai moral yang benar dan salah.
Studi ini berkonsentrasi pada standar moral sebagaimana diterapkan dalam kebijakan,
institusi, dan perilaku bisnis.
Etika bisnis merupakan studi standar formal dan bagaimana standar itu diterapkan ke
dalam system dan organisasi yang digunakan masyarakat modern untuk memproduksi
dan mendistribusikan barang dan jasa dan diterapkan kepada orang-orang yang ada di
dalam organisasi.
D. Penerapan Etika pada Organisasi Perusahaan
Dapatkan pengertian moral seperti tanggung jawab, perbuatan yang salah dan kewajiban
diterapkan terhadap kelompok seperti perusahaan, ataukah pada orang (individu) sebagai
perilaku moral yang nyata?
Ada dua pandangan yang muncul atas masalah ini :
Ekstrem pertama, adalah pandangan yang berpendapat bahwa, karena aturan yang
mengikat, organisasi memperbolehkan kita untuk mengatakan bahwa perusahaan
bertindak seperti individu dan memiliki tujuan yang disengaja atas apa yang mereka
lakukan, kita dapat mengatakan mereka bertanggung jawab secara moral untuk tindakan
mereka dan bahwa tindakan mereka adalah bermoral atau tidak bermoral dalam
pengertian yang sama yang dilakukan manusia.
Ekstrem kedua, adalah pandangan filsuf yang berpendirian bahwa tidak masuk akal
berpikir bahwa organisasi bisnis secara moral bertanggung jawab karena ia gagal
mengikuti standar moral atau mengatakan bahwa organisasi memiliki kewajiban moral.
Organisasi bisnis sama seperti mesin yang anggotanya harus secara membabi buta
mentaati peraturan formal yang tidak ada kaitannya dengan moralitas. Akibatnya, lebih
tidak masuk akal untuk menganggap organisasi bertanggung jawab secara moral karena
ia gagal mengikuti standar moral daripada mengkritik organisasi seperti mesin yang gagal
bertindak secara moral.
Karena itu, tindakan perusahaan berasal dari pilihan dan tindakan individu manusia,
indivdu-individulah yang harus dipandang sebagai penjaga utama kewajiban moral dan
tanggung jawab moral : individu manusia bertanggung jawab atas apa yang dilakukan
perusahaan karena tindakan perusahaan secara keseluruhan mengalir dari pilihan dan
perilaku mereka. Jika perusahaan bertindak keliru, kekeliruan itu disebabkan oleh pilihan
tindakan yang dilakukan oleh individu dalam perusahaan itu, jika perusahaan bertindak
secara moral, hal itu disebabkan oleh pilihan individu dalam perusahaan bertindak secara
bermoral.
E. Globalisasi, Perusahaan Multinasional dan Etika Bisnis
Globalisasi adalah proses yang meliputi seluruh dunia dan menyebabkan system ekonomi
serta sosial negara-negara menjadi terhubung bersama, termasuk didalamnya barangbarang,
jasa, modal, pengetahuan, dan peninggalan budaya yang diperdagangkan dan
saling berpindah dari satu negara ke negara lain. Proses ini mempunyai beberapa
komponen, termasuk didalamnya penurunan rintangan perdagangan dan munculnya pasar
terbuka dunia, kreasi komunikasi global dan system transportasi seperti internet dan
pelayaran global, perkembangan organisasi perdagangan dunia (WTO), bank dunia, IMF,
dan lain sebagainya.
Perusahaan multinasional adalah inti dari proses globalisasi dan bertanggung jawab
dalam transaksi internasional yang terjadi dewasa ini. Perusahaan multinasional adalah
perusahaan yang bergerak di bidang yang menghasilkan pemasaran, jasa atau operasi
administrasi di beberapa negara. Perusahaan multinasional adalah perusahaan yang
melakukan kegiatan produksi, pemasaran, jasa dan beroperasi di banyak negara yang
berbeda.
Karena perusahaan multinasional ini beroperasi di banyak negara dengan ragam budaya
dan standar yang berbeda, banyak klaim yang menyatakan bahwa beberapa perusahaan
melanggar norma dan standar yang seharusnya tidak mereka lakukan.
F. Etika Bisnis dan Perbedaan Budaya
Relativisme etis adalah teori bahwa, karena masyarakat yang berbeda memiliki
keyakinan etis yang berbeda. Apakah tindakan secara moral benar atau salah, tergantung
kepada pandangan masyarakat itu. Dengan kata lain, relativisme moral adalah pandangan
bahwa tidak ada standar etis yang secara absolute benar dan yang diterapkan atau harus
diterapkan terhadap perusahaan atau orang dari semua masyarakat. Dalam penalaran
moral seseorang, dia harus selalu mengikuti standar moral yang berlaku dalam
masyarakat manapun dimana dia berada.
Pandangan lain dari kritikus relativisme etis yang berpendapat, bahwa ada standar moral
tertentu yang harus diterima oleh anggota masyarakat manapun jika masyarakat itu akan
terus berlangsung dan jika anggotanya ingin berinteraksi secara efektif.
Relativisme etis mengingatkan kita bahwa masyarakat yang berbeda memiliki keyakinan
moral yang berbeda, dan kita hendaknya tidak secara sederhana mengabaikan keyakinan
moral kebudayaan lain ketika mereka tidak sesuai dengan standar moral kita.
G. Teknologi dan Etika Bisnis
Teknologi yang berkembang di akhir dekade abad ke-20 mentransformasi masyarakat
dan bisnis, dan menciptakan potensi problem etis baru. Yang paling mencolok adalah
revolusi dalam bioteknologi dan teknologi informasi. Teknologi menyebabkan beberapa
perubahan radikal, seperti globalisasi yang berkembang pesat dan hilangnya jarak,
kemampuan menemukan bentuk-bentuk kehidupan baru yang keuntungan dan resikonya
tidak terprediksi. Dengan perubahan cepat ini, organisasi bisnis berhadapan dengan
setumpuk persoalan etis baru yang menarik.
1.2 PERKEMBANGAN MORAL DAN PENALARAN MORAL
A. Perkembangan Moral
Riset psikologi menunjukkan bahwa, perkembangan moral seseorang dapat berubah
ketika dewasa. Saat anak-anak, kita secara jujur mengatakan apa yang benar dan apa
yang salah, dan patuh untuk menghindari hukuman. Ketika tumbuh menjadi remaja,
standar moral konvensional secara bertahap diinternalisasikan. Standar moral pada tahap
ini didasarkan pada pemenuhan harapan keluarga, teman dan masyarakat sekitar. Hanya
sebagian manusia dewasa yang rasional dan berpengalaman memiliki kemampuan
merefleksikan secara kritis standar moral konvensional yang diwariskan keluarga, teman,
budaya atau agama kita. Yaitu standar moral yang tidak memihak dan yang lebih
memperhatikan kepentingan orang lain, dan secara memadai menyeimbangkan perhatian
terhadap orang lain dengan perhatian terhadap diri sendiri.
Menurut ahli psikologi, Lawrence Kohlberg, dengan risetnya selama 20 tahun,
menyimpulkan, bahwa ada 6 tingkatan (terdiri dari 3 level, masing-masing 2 tahap) yang
teridentifikasi dalam perkembangan moral seseorang untuk berhadapan dengan isu-isu
moral. Tahapannya adalah sebagai berikut :
1) Level satu : Tahap Prakonvensional
Pada tahap pertama, seorang anak dapat merespon peraturan dan ekspektasi sosial dan
dapat menerapkan label-label baik, buruk, benar dan salah.
Tahap satu : Orientasi Hukuman dan Ketaatan
Pada tahap ini, konsekuensi fisik sebuah tindakan sepenuhnya ditentukan oleh kebaikan
atau keburukan tindakan itu. Alasan anak untuk melakukan yang baik adalah untuk
menghindari hukuman atau menghormati kekuatan otoritas fisik yang lebih besar.
Tahap dua : Orientasi Instrumen dan Relativitas
Pada tahap ini, tindakan yang benar adalah yang dapat berfungsi sebagai instrument
untuk memuaskan kebutuhan anak itu sendiri atau kebutuhan mereka yang dipedulikan
anak itu.
2) Level dua : Tahap Konvensional
Pada level ini, orang tidak hanya berdamai dengan harapan, tetapi menunjukkan loyalitas
terhadap kelompok beserta norma-normanya. Remaja pada masa ini, dapat melihat situasi
dari sudut pandang orang lain, dari perspektif kelompok sosialnya.
Tahap Tiga : Orientasi pada Kesesuaian Interpersonal
Pada tahap ini, melakukan apa yang baik dimotivasi oleh kebutuhan untuk dilihat sebagai
pelaku yang baik dalam pandangannya sendiri dan pandangan orang lain.
Tahap Empat : Orientasi pada Hukum dan Keteraturan
Benar dan salah pada tahap konvensional yang lebih dewasa, kini ditentukan oleh
loyalitas terhadap negara atau masyarakat sekitarnya yang lebih besar. Hukum dipatuhi
kecuali tidak sesuai dengan kewajiban sosial lain yang sudah jelas.
3) Level tiga : Tahap Postkonvensional, Otonom, atau Berprinsip
Pada tahap ini, seseorang tidak lagi secara sederhana menerima nilai dan norma
kelompoknya. Dia justru berusaha melihat situasi dari sudut pandang yang secara adil
mempertimbangkan kepentingan orang lain. Dia mempertanyakan hukum dan nilai yang
diadopsi oleh masyarakat dan mendefinisikan kembali dalam pengertian prinsip moral
yang dipilih sendiri yang dapat dijustifikasi secara rasional. Hukum dan nilai yang pantas
adalah yang sesuai dengan prinsip-prinsip yang memotivasi orang yang rasional untuk
menjalankannya.
Tahap Lima : Orientasi pada Kontrak Sosial
Tahap ini, seseorang menjadi sadar bahwa mempunyai beragam pandangan dan pendapat
personal yang bertentangan dan menekankan cara yang adil untuk mencapai consensus
dengan kesepahaman, kontrak, dan proses yang matang. Dia percaya bahwa nilai dan
norma bersifat relative, dan terlepas dari consensus demokratis semuanya diberi toleransi.
Tahap Enam : Orientasi pada Prinsip Etika yang Universal
Tahap akhir ini, tindakan yang benar didefinisikan dalam pengertian prinsip moral yang
dipilih karena komprehensivitas, universalitas, dan konsistensi. Alasan seseorang untuk
melakukan apa yang benar berdasarkan pada komitmen terhadap prinsip-prinsip moral
tersebut dan dia melihatnya sebagai criteria untuk mengevaluasi semua aturan dan
tatanan moral yang lain.
Teori Kohlberg membantu kita memahami bagaimana kapasitas moral kita berkembang
dan memperlihatkan bagaimana kita menjadi lebih berpengalaman dan kritis dalam
menggunakan dan memahami standar moral yang kita punyai. Namun tidak semua orang
mengalami perkembangan, dan banyak yang berhenti pada tahap awal sepanjang
hidupnya. Bagi mereka yang tetap tinggal pada tahap prakonvensional, benar atau salah
terus menerus didefinisikan dalam pengertian egosentris untuk menghindari hukuman
dan melakukan apa yang dikatakan oleh figur otoritas yang berkuasa. Bagi mereka yang
mencapai tahap konvensional, tetapi tidak pernah maju lagi, benar atau salah selalu
didefinisikan dalam pengertian norma-norma kelompok sosial mereka atau hukum negara
atau masyarakat mereka. Namun demikian, bagi yang mencapai level postkonvensional
dan mengambil pandangan yang reflektif dan kritis terhadap standar moral yang mereka
yakini, benar dan salah secara moral didefinisikan dalam pengertian prinsip-prinsip moral
yang mereka pilih bagi mereka sendiri sebagai yang lebih rasional dan memadai.
B. Penalaran Moral
Penalaran moral mengacu pada proses penalaran dimana prilaku, institusi, atau kebijakan
dinilai sesuai atau melanggar standar moral. Penalaran moral selalu melibatkan dua
komponen mendasar :
1. Pemahaman tentang yang dituntut, dilarang, dinilai atau disalahkan oleh standar
moral yang masuk akal.
2. Bukti atau informasi yang menunjukkan bahwa orang, kebijakan, institusi, atau
prilaku tertentu mempunyai ciri-ciri standar moral yang menuntut, melarang,
menilai, atau menyalahkan.
3. Menganalisis Penalaran Moral
Ada beberapa criteria yang digunakan para ahli etika untuk mengevaluasi kelayakan
penalaran moral, yaitu :
• Penalaran moral harus logis.
• Bukti factual yang dikutip untuk mendukung penilaian harus akurat, relevan dan
lengkap.
• Standar moral yang melibatkan penalaran moral seseorang harus konsisten.
1.3 ARGUMEN YANG MENDUKUNG DAN YANG MENETANG ETIKA BISNIS
Banyak yang keberatan dengan penerapan standar moral dalam aktivitas bisnis. Bagian
ini membahas keberatan-keberatan tersebut dan melihat apa yang dapat dikatakan
berkenaan dengan kesetujuan untuk menerapkan etika ke dalam bisnis.
Tiga keberatan atas penerapan etika ke dalam bisnis :
Orang yang terlibat dalam bisnis, kata mereka hendaknya berfokus pada pencarian
keuntungan finansial bisnis mereka dan tidak membuang-buang energi mereka atau
sumber daya perusahaan untuk melakukan ”pekerjaan baik”. Tiga argumen diajukan
untuk mendukung perusahaan ini :
Pertama, beberapa berpendapat bahwa di pasar bebas kompetitif sempurna, pencarian
keuntungan dengan sendirinya menekankan bahwa anggota masyarakat berfungsi dengan
cara-cara yang paling menguntungkan secara sosial. Agar beruntung, masing-masing
perusahaan harus memproduksi hanya apa yang diinginkan oleh anggota masyarakat dan
harus melakukannya dengan cara yang paling efisien yang tersedia. Anggota masyarakat
akan sangat beruntung jika manajer tidak memaksakan nilai-nilai pada bisnis, namun
mengabdikan dirinya pada pencarian keuntungan yang berfokus.
Argumen tersebut menyembunyikan sejumlah asumsi yaitu : Pertama, sebagian besar
industri tidak ”kompetitif secara sempurna”, dan sejauh sejauh perusahaan tidak harus
berkompetisi, mereka dapat memaksimumkan keuntungan sekalipun produksi tidak
efisien. Kedua, argumen itu mengasumsikan bahwa langkah manapun yang diambil untuk
meningkatkan keuntungan, perlu menguntungkan secara sosial, sekalipun dalam
kenyataannya ada beberapa cara untuk meningkatkan keuntungan yang sebenarnya
merugikan perusahaan : membiarkan polusi, iklan meniru, menyembunyikan cacat
produksi, penyuapan. Menghindari pajak, dsb. Ketiga, argumen itu mengasumsikan
bahwa dengan memproduksi apapun yang diinginkan publik pembeli, perusahaan
memproduksi apa yang diinginkan oleh seluruh anggota masyarakat, ketika kenyataan
keinginan sebagian besar anggota masyarakat (yang miskin dan dan tidak diuntungkan)
tidak perlu dipenuhi karena mereka tidak dapat berpartisipasi dalam pasar. Keempat,
argumen itu secara esensial membuat penilaian normatif.
Kedua, Kadang diajukan untuk menunjukan bahwa manajer bisnis hendaknya berfokus
mengejar keuntungan perusahaan mereka dan mengabaikan pertimbangan etis, yang oleh
Ale C. Michales disebut ”argumen dari agen yang loyal”. Argumen tersebut secara
sederhana adalah sbb :
Sebagai agen yang loyal dari majikannya manajer mempunyai kewajiban untuk melayani
majikannya ketika majikan ingin dilayani (jika majikan memiliki keakhlian agen).
Majikan ingin dilayani dengan cara apapun yang akan memajukan kepentingannya
sendiri. Dengan demikian sebagai agen yang loyal dari majikannya, manajer mempunyai
kewajiban untuk melayani majikannya dengan cara apapun yang akan memajukan
kepentingannya.
Argumen agen yang loyal adalah keliru, karena ”dalam menentukan apakah perintah
klien kepada agen masuk akal atau tidak... etika bisnis atau profesional harus
mempertimbangkan” dan ”dalam peristiwa apapun dinyatakan bahwa agen mempunyai
kewajiban untuk tidak melaksanakan tindakan yang ilegal atau tidak etis”. Dengan
demikian, kewajiban manajer untuk mengabdi kepada majikannya, dibatasi oleh batasanbatasan
moralitas.
Ketiga, untuk menjadi etis cukuplah bagi orang-orang bisnis sekedar mentaati hukum :
Etika bisnis pada dasarnya adalah mentaati hukum.
Terkadang kita salah memandang hukum dan etika terlihat identik. Benar bahwa hukum
tertentu menuntut perilaku yang sama yang juga dituntut standar moral kita. Namun
demikian, hukum dan moral tidak selalu serupa. Beberapa hukum tidak punya kaitan
dengan moralitas, bahkan hukum melanggar standar moral sehingga bertentangan dengan
moralitas, seperti hukum perbudakan yang memperbolehkan kita memperlakukan budak
sebagai properti. Jelas bahwa etika tidak begitu saja mengikuti hukum.
Namun tidak berarti etika tidak mempunyai kaitan dengan hukum. Standar Moral kita
kadang dimasukan ke dalam hukum ketika kebanyakan dari kita merasa bahwa standar
moral harus ditegakkan dengan kekuatan sistem hukum sebaliknya, hukum dikritik dan
dihapuskan ketika jelas-jelas melanggar standar moral.
Kasus etika dalam bisnis
Etika seharusnya diterapkan dalam bisnis dengan menunjukan bahwa etika mengatur
semua aktivitas manusia yang disengaja, dan karena bisnis merupakan aktitivitas manusia
yang disengaja, etika hendaknya juga berperan dalam bisnis. Argumen lain berpandangan
bahwa, aktivitas bisnis, seperti juga aktivitas manusia lainnya, tidak dapat eksis kecuali
orang yang terlibat dalam bisnis dan komunitas sekitarnya taat terhadap standar minimal
etika. Bisnis merupakan aktivitas kooperatif yang eksistensinya mensyaratkan perilaku
etis.
Dalam masyarakat tanpa etika, seperti ditulis oleh filsuf Hobbes, ketidakpercayaan dan
kepentingan diri yang tidak terbatas akan menciptakan ”perang antar manusia terhadap
manusia lain”, dan dalam situasi seperti itu hidup akan menjadi ”kotor, brutal, dan
dangkal”. Karenanya dalam masyarakat seperti itu, tidak mungkin dapat melakukan
aktivitas bisnis, dan bisnis akan hancur. Katena bisnis tidak dapat bertahan hidup tanpa
etika, maka kepentingan bisnis yang paling utama adalah mempromosikan perilaku etika
kepada anggotanya dan juga masyarakat luas.
Etika hendaknya diterapkan dalam bisnis dengan menunjukan bahwa etika konsisten
dengan tujuan bisnis, khususnya dalam mencari keuntungan. Contoh Merck dikenal
karena budaya etisnya yang sudah lama berlangsung, namun ia tetap merupakan
perusahaan yang secara spektakuler mendapatkan paling banyak keuntungan sepanjang
masa.
Apakah ada bukti bahwa etika dalam bisnis secara sistematis berkorelasi dengan
profitabilitas? Apakah Perusahaan yang etis lebih menguntungkan dapripada perusahaan
lainnya ?
Beberapa studi menunjukan hubungan yang positif antara perilaku yang bertanggung
jawab secara sosial dengan profitabilitas, beberapa tidak menemukan korelasi bahwa
etika bisnis merupakan beban terhadap keuntungan. Studi lain melihat, perusahaan yang
bertanggung jawab secara sosial bertransaksi di pasar saham, memperoleh pengembalian
yang lebih tinggi daripada perusahaan lainnya. Semua studi menunjukan bahwa secara
keseluruhan etika tidak memperkecil keuntungan, dan tampak justru berkontribusi pada
keuntungan.
Dalam jangka panjang, untuk sebagian besar, lebih baik menjadi etis dalam bisnis dari
pada tidak etis. Meskipun tidak etis dalam bisnis kadang berhasil, namun perilaku tidak
etis ini dalam jangka panjang, cenderung menjadi kekalahan karena meruntuhkan
hubungan koperatif yang berjangka lama dengan pelanggan, karyawan dan anggota
masyarakat dimana kesuksesan disnis sangat bergantung.
Akhirnya kita harus mengetahui ada banyak bukti bahwa sebagian besar orang akan
menilai perilaku etis dengan menghukum siapa saja yang mereka persepsi berperilaku
tidak etis, dan menghargai siapa saja yang mereka persepsi berperilaku etis. Pelanggan
akan melawan perusahaan jika mereka mempersepsi ketidakadilan yang dilakukan
perusahaan dalam bisnis lainnya, dan mengurangi minat mereka untuk membeli
produknya. Karyawan yang merasakan ketidakadilan, akan menunjukan absentisme lebih
tinggi, produktivitas lebih rendah, dan tuntutan upah lebih tinggi. Sebaliknya, ketika
karyawan percaya bahwa organisasi adil, akan senang mengikuti manajer. Melakukan
apapun yang dikatakan manajer, dan memandang keputusan manajer sah. Ringkasnya,
etika merupakan komponen kunci manajemen yang efektif.
Dengan demikian, ada sejumlah argumen yang kuat, yang mendukung pandangan bahwa
etika hendaknya diterapkan dalam bisnis.
1.4 TANGGUNG JAWAB DAN KEWAJIBAN MORAL
Kapankah secara moral seseorang bertanggung jawab atau disalahkan, karena melakukan
kesalahan? Seseorang secara moral bertanggung jawab atas tindakannya dan efek-efek
merugikan yang telah diketahui ;
a. Yang dilakukan atau dilaksanakan seseorang dengan sengaja dan secara bebas
b. Yang gagal dilakukan atau dicegah dan yang secara moral keliru karena orang itu
dengan sengaja atau secara bebas gagal melaksanakan atau mencegahnya.
Ada kesepakatan umum, bahwa ada dua kondisi yang sepenuhnya menghilangkan
tanggung jawab moral seseorang karena menyebabkan kerugian ;
1. Ketidaktahuan
2. Ketidakmampuan
Keduanya disebut kondisi yang memaafkan karena sepenuhnya memaafkan orang dari
tanggung jawab terhadap sesuatu. Jika seseorang tidak mengetahui, atau tidak dapat
menghindari apa yang dia lakukan, kemudian orang itu tidak berbuat secara sadar, ia
bebas dan tidak dapat dipersalahkan atas tindakannya. Namun, ketidaktahuan dan
ketidakmampuan tidak selalu memaafkan seseorang, salah satu pengecualiannya adalah
ketika seseorang mungkin secara sengaja, membiarkan dirinya tidak mau mengetahui
persoalan tertentu.
Ketidakmampuan bisa jadi merupakan akibat lingkungan internal dan eksternal yang
menyebabkan seseorang tidak dapat melakukan sesuatu atau tidak dapat menahan
melakukan sesuatu. Seseorang mungkin kekurangan kekuasaan, keahlian, kesempatan
atau sumber daya yang mencukupi untuk bertindak. Seseorang mungkin secara fisik
terhalang atau tidak dapat bertindak, atau pikiran orang secara psikologis cacat sehingga
mencegahnya mengendalikan tindakannya. Ketidakmampuan mengurangi tanggung
jawab karena seseorang tidak mempunyai tanggung jawab untuk melakukan (atau
melarang melakukan) sesuatu yang tidak dapat dia kendalikan. Sejauh lingkungan
menyebabkan seseorang tidak dapat mengendalikan tindakannya atau mencegah kerugian
tertentu, adalah keliru menyalahkan orang itu.
Sebagai tambahan atas dua kondisi yang memaklumkan itu (ketidaktahuan dan
ketidakmampuan), yang sepenuhnya menghilangkan tanggung jawab moral seseorang
karena kesalahan, ada juga beberapa faktor yang memperingan, yang meringankan
tanggung jawab moral seseorang yang tergantung pada kejelasan kesalahan. Faktor yang
memperingan mencakup :
• Lingkungan yang mengakibatkan orang tidak pasti, namun tidak juga tidak yakin
tentang apa yang sedang dia lakukan ( hal tersebut mempengaruhi pengetahuan
seseorang)
• Lingkungan yang menyulitkan, namun bukan tidak mungkin untuk menghindari
melakukannya (hal ini mempengaruhi kebebasan seseorang)
• Lingkungan yang mengurangi namun tidak sepenuhnya menghilangkan
keterlibatan seseorang dalam sebuah tindakan (ini mempengaruhi tingkatan
sampai dimana seseorang benar-benar menyebabkan kerugian)
Hal tersebut dapat memperingan tanggung jawab seseorang karena kelakuan yang keliru
yang tergantung pada faktor keempat, yaitu keseriusan kesalahan.
Kesimpulan mendasar tentang tanggung jawab moral atas kesalahan atau kerugian yang
memperingan tanggung jawab moral seseorang yaitu :
1. Secara moral individu, bertanggung jawab atas tindakan yang salah yang dia
lakukan (atau yang secara keliru dia lalaikan) dan atas efek-efek kerugian yang
disebabkan (atau yang gagal dia cegah) ketika itu dilakukan dengan bebas dan
sadar.
2. Tanggung jawab moral sepenuhnya dihilangkan (atau dimaafkan) oleh
ketidaktahuan dan ketidakmampuan
3. Tanggung jawab moral atas kesalahan atau kerugian diringankan oleh :
• Ketidak pastian
• Kesulitan
Bobot keterlibatan yang kecil (meskipun kegagalan tidak memperingan jika seseorang
mempunyai tugas khusus untuk mencegah kesalahan), namun cakupan sejauh mana halhal
tersebut memperingan tanggung jawab moral seseorang kepada (dengan) keseriusan
kesalahan atau kerugian. Semakin besar keseriusannya, semakin kecil ketiga faktor
pertama tadi dapat meringankan.
Para kritikus berdebat, apakah semua faktor yang meringankan itu benar-benar
mempengaruhi tanggung jawab seseorang? Beberapa berpendapat bahwa, kejahatan tidak
pernah diterima, tidak peduli tekanan apakah yang terjadi pada seseorang. Kritikus lain
berpendapat, membiarkan secara pasif suatu kesalahan terjadi, tidak berbeda dengan
secara aktif menyebabkan suatu kesalahan terjadi.
A. Tanggung Jawab Perusahaan
Dalam perusahaan modern, tanggung jawab atas tindakan perusahaan sering
didistribusikan kepada sejumlah pihak yang bekerja sama. Tindakan perusahaan biasanya
terdiri atas tindakan atau kelalaian orang-orang berbeda yang bekerja sama sehingga
tindakan atau kelalaian mereka bersama-sama menghasilkan tindakan perusahaan. Jadi,
siapakah yang bertanggung jawab atas tindakan yang dihasilkan bersama-sama itu?
Pandangan tradisional berpendapat bahwa mereka yang melakukan secara sadar dan
bebas apa yang diperlukan perusahaan, masing-masing secara moral bertanggung jawab.
Lain halnya pendapat para kritikus pandangan tradisional, yang menyatakan bahwa
ketika sebuah kelompok terorganisasi seperti perusahaan bertindak bersama-sama,
tindakan perusahaan mereka dapat dideskripsikan sebagai tindakan kelompok, dan
konsekuensinya tindakan kelompoklah, bukan tindakan individu, yang mengharuskan
kelompok bertanggung jawab atas tindakan tersebut.
Kaum tradisional membantah bahwa, meskipun kita kadang membebankan tindakan
kepada kelompok perusahaan, fakta legal tersebut tidak mengubah realitas moral dibalik
semua tindakan perusahaan itu. Individu manapun yang bergabung secara sukarela dan
bebas dalam tindakan bersama dengan orang lain, yang bermaksud menghasilkan
tindakan perusahaan, secara moral akan bertanggung jawab atas tindakan itu.
Namun demikian, karyawan perusahaan besar tidak dapat dikatakan “dengan sengaja dan
dengan bebas turut dalam tindakan bersama itu” untuk menghasilkan tindakan
perusahaan atau untuk mengejar tujuan perusahaan. Seseorang yang bekerja dalam
struktur birokrasi organisasi besar tidak harus bertanggung jawab secara moral atas setiap
tindakan perusahaan yang turut dia bantu, seperti seorang sekretaris, juru tulis, atau
tukang bersih-bersih di sebuah perusahaan. Faktor ketidaktahuan dan ketidakmampuan
yang meringankan dalam organisasi perusahaan birokrasi berskala besar, sepenuhnya
akan menghilangkan tanggung jawab moral orang itu.
B. Tanggung Jawab Bawahan
Dalam perusahaan, karyawan sering bertindak berdasarkan perintah atasan mereka.
Perusahaan biasanya memiliki struktur yang lebih tinggi ke beragam agen pada level
yang lebih rendah. Jadi, siapakah yang harus bertanggung jawab secara moral ketika
seorang atasan memerintahkan bawahannya untuk melakukan tindakan yang mereka
ketahui salah.
Orang kadang berpendapat bahwa, ketika seorang bawahan bertindak sesuai dengan
perintah atasannya yang sah, dia dibebaskan dari semua tanggung jawab atas tindakan itu.
Hanya atasan yang secara moral bertanggung jawab atas tindakan yang keliru, bahkan
jika bawahan adalah agen yang melakukannya. Pendapat tersebut keliru, karena
bagaimanapun tanggung jawab moral menuntut seseorang bertindak secara bebas dan
sadar, dan tidak relevan bahwa tindakan seseorang yang salah merupakan pilihan secara
bebas dan sadar mengikuti perintah. Ada batas-batas kewajiban karyawan untuk mentaati
atasannya. Seorang karyawan tidak mempunyai kewajiban untuk mentaati perintah
melakukan apapun yang tidak bermoral.
Dengan demikian, ketika seorang atasan memerintahkan seorang karyawan untuk
melakukan sebuah tindakan yang mereka ketahui salah, karyawan secara moral
bertanggung jawab atas tindakan itu jika dia melakukannya. Atasan juga bertanggung
jawab secara moral, karena fakta atasan menggunakan bawahan untuk melaksanakan
tindakan yang salah tidak mengubah fakta bahwa atasan melakukannya.
HAL – HAL YANG MENARIK
1. Dasar Etika adalah Moral
Apa yang dimaksud dengan etika? Menurut kamus ada banyak arti dari etika diantaranya
adalah :
• Prinsip – prinsip yang digunakan untuk mengatur prilaku individu atau kelompok
• Pelajaran tentang moral
Definisi Moralitas adalah :
“Aturan-aturan yang dimiliki perorangan atau kelompok tentang apa-apa yang benar dan
apa-apa yang salah, atau apa-apa yang baik dan yang jahat.”
Sedangkan yang dimaksud dengan standar moral adalah :
“Norma-norma yang kita miliki tentang jenis-jenis tindakan yang kita percaya secara
moral benar atau salah.”
2. Moral Lebih ke Arah Individu
Organisasi perusahaan akan eksis bila :
“Ada individu – individu manusia dengan hubungan dan lingkungan tertentu.”
Karena tindakan perusahaan dilakukan oleh pilihan dan tindakan individu-individu di
dalamnya. Maka individu-individu tadi yang harus dilihat sebagai penghalang dan
pelaksana utama dari tugas moral, tanggung jawab moral perusahaan.
Individu-individu manusia tadi bertanggung jawab pada apa yang dilakukan oleh
perusahaan, karena tindakan perusahaan berlangsung karena pilihan-pilihan mereka dan
prilaku individu-individu tadi. Sehingga perusahaan mempunyai tugas moral untuk
melakukan sesuatu bila anggota perusahaan tersebut mempunyai tanggung jawab moral
untuk melakukan sesuatu.
3. Pencapai Tetinggi dari Etika adalah Berorientasi pada Prinsip Etika Universal
Tingkat final, tindakan yang benar dilakukan berdasarkan prinsip moral karena logis,
universality dan konsistensi.
Universality artinya suara hati, di dalam istilah ESQ disebut anggukan universal yang
mengacu kepada God Spot.
4. Kasus WorldCom dan Enron
4.1 Kasus WorldCom
Di dalam laporan keuangan WorldCom’s, Scott Sulivan memindahkan $ 400 juta dari
reserved account ke “income”. Dia juga selama bertahun-tahun melaporkan trilyunan
dolar biaya operasi sebagai “capital expenditure”.
Dia bisa melakukan ini dengan bantuan firm accounting dan auditor terkenal “Arthur
Andersen”. Padahal Scott Sullivan, pernah mendapat penghargaan sebagai Best CFO oleh
CFO Magazine tahun 1998.
4.2 Kasus Enron
Pada terbitan April 2001, majalah Fortune menjuluki Enron sebagai perusahaan paling
innovative di Amerika “Most Innovative” dan menduduki peringkat 7 besar perusahaan
di Amerika. Enam bulan kemudian (Desember 2001) Enron diumumkan bangkrut.
Kejadian ini dijuluki sebagai “Penipuan accounting terbesar di abad ke 20”. Dua belas
ribu karyawan kehilangan pekerjaan. Pemegang saham-saham Enron kehilangan US$ 70
Trilyun dalam sekejap ketika nilai sahamnya turun menjadi nol.
Kejadian ini terjadi dengan memanfaatkan celah di bidang akuntansi. Andrew Fastow,
Chief Financial officer bekerjasama dengan akuntan public Arthur Andersen,
memanfaatkan celah di bidang akuntansi, yaitu dengan menggunakan “special purpose
entity”, karena aturan accounting memperbolehkan perusahaan untuk tidak melaporkan
keuangan special purpose entity bila ada pemilik saham independent dengan nilai
minimum 3%.
Dengan special purpose entity tadi, kemudian meminjam uang ke bank dengan
menggunakan jaminan saham Enron. Uang hasil pinjaman tadi digunakan untuk
menghidupi bisnis Enron.
4.3 Bahasan Kasus
Dari kasus WorldCom’s dan Enron diatas, dapat diamati bahwa walaupun sudah ada
aturan yang jelas mengatur system accounting, tetapi kalau manusia yang mengatur tadi
tidak bermoral dan tidak beretika maka mereka akan memanfaatkan celah yang ada untuk
kepentingan mereka.
4.4 Pandangan Velasquez tentang Etika Bisnis di Arab Saudi
Menurut Velasquez, Arab Saudi adalah tempat kelahiran Islam, yang menggunakan
landasan Islam Suni sebagai hukum, kebijakan dan system sosialnya. Tetapi di Arab
Saudi tidak dikenal “basic right” (keadilan dasar, seperti tidak ada demokrasi, tidak ada
kebebasan berbicara, tidak ada kebebasan pers, tidak mengenal peradilan dengan system
juri, tidak mengenal kebebasan beragama dan diskriminasi terhadap wanita. Sehingga
menurut Velasquez, di Arab Saudi tidak mengenal hak azazi manusia.
BAHASAN
Velasquez menyatakan, Arab Saudi adalah contoh Etika Islam, dengan alasan sederhana
karena Islam lahir disana. Tetapi dia lupa bahwa Agama Kristen dan Yahudi juga tidak
lahir di Eropa atau di Amerika. Dia mengeneralisir bahwa Arab Saudi adalah Islam.
Padahal Arab Saudi bukan merupakan penggambaran negara Islam yang dicontohkan
Nabi Muhammad SAW. Dalam jaman Rasul dan empat sahabat penerusnya dikenal
istilah demokrasi dan kebebasan beragama.
HAL – HAL MENARIK MENJADI BAHAN DISKUSI
1. Bagaimana pendekatan etika yang harus out-in atau in-out
• Out- in adalah proses pengawasan dari luar ke dalam, harus ada aturan main atau
bisnis proses yang jelas dan transparan sehingga etika bisnis bisa berjalan,
misalnya ada good corporate governance, balance scorecard, atau Malcolm
baldrige
• In- out adalah pendekatan dari sisi individu pelaku bisnis, pelaku dari etika adalah
invidu dan setiap individu harus menjalankan etika bisnis.
• Dalam kasus Enron dan WorldCom’s, walaupun sudah ada system yang sangat
baik dan well defined is organized, masih saja “oknum” manusia mencari celah
diantara aturan main tersebut.
• Bagaimanakah sebaiknya implementasi etika bisnis yang baik, dengan pendekatan
in-out, out-in, atau ambivalent dengan menerapkan keduanya.
2. Apakah etika itu pesan universal horizontal – kewajiban vertical
• Dasar dari etika adalah kajian terhadap moralitas, dan moralitas tadi mengaju
kepada individu.
• Sedangkan pencapai tertinggi dari moral adalah Orientasi Prinsip Etis Universal
• Velasquez menyatakan etika itu lebih abstrak daripada “Ten Commandements”
• Apakah etika itu pesan universal horizontal (manusia ke manusia) minus nilai
kewajiban vertical (Agama) ?
CONTOH PELANGGARAN ETIKA BISNIS
• Pelanggaran etika bisnis terhadap hukum
Sebuah perusahaan X karena kondisi perusahaan yang pailit akhirnya memutuskan untuk
Melakukan PHK kepada karyawannya. Namun dalam melakukan PHK itu, perusahaan
sama sekali tidak memberikan pesongan sebagaimana yang diatur dalam UU No. 13/2003
tentang Ketenagakerjaan. Dalam kasus ini perusahaan x dapat dikatakan melanggar
prinsip kepatuhan terhadap hukum.
• Pelanggaran etika bisnis terhadap transparansi
Sebuah Yayasan X menyelenggarakan pendidikan setingkat SMA. Pada tahun ajaran
baru sekolah mengenakan biaya sebesar Rp 500.000,- kepada setiap siswa baru. Pungutan
sekolah ini sama sekali tidak diinformasikan kepada mereka saat akan mendaftar,
sehingga setelah diterima mau tidak mau mereka harus membayar. Disamping itu tidak
ada informasi maupun penjelasan resmi tentang penggunaan uang itu kepada wali murid.
Setelah didesak oleh banyak pihak, Yayasan baru memberikan informasi bahwa uang itu
dipergunakan untuk pembelian seragama guru. Dalam kasus ini, pihak Yayasan dan
sekolah dapat dikategorikan melanggar prinsip transparansi
• Pelanggaran etika bisnis terhadap akuntabilitas
Sebuah RS Swasta melalui pihak Pengurus mengumumkan kepada seluruh karyawan
yang akan mendaftar PNS secara otomotais dinyatakan mengundurkan diri. A sebagai
salah seorang karyawan di RS Swasta itu mengabaikan pengumuman dari pihak pengurus
karena menurut pendapatnya ia diangkat oleh Pengelola dalam hal ini direktur, sehingga
segala hak dan kewajiban dia berhubungan dengan Pengelola bukan Pengurus. Pihak
Pengelola sendiri tidak memberikan surat edaran resmi mengenai kebijakan tersebut.
Karena sikapnya itu, A akhirnya dinyatakan mengundurkan diri. Dari kasus ini RS
Swasta itu dapat dikatakan melanggar prinsip akuntabilitas karena tidak ada kejelasan
fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban antara Pengelola dan Pengurus Rumah
Sakit
• Pelanggaran etika bisnis terhadap prinsip pertanggungjawaban
Sebuah perusahaan PJTKI di Jogja melakukan rekrutmen untuk tenaga baby sitter. Dalam
pengumuman dan perjanjian dinyatakan bahwa perusahaan berjanji akan mengirimkan
calon TKI setelah 2 bulan mengikuti training dijanjikan akan dikirim ke negara-negara
tujuan. Bahkan perusahaan tersebut menjanjikan bahwa segala biaya yang dikeluarkan
pelamar akan dikembalikan jika mereka tidak jadi berangkat ke negara tujuan. B yang
terarik dengan tawaran tersebut langsung mendaftar dan mengeluarkan biaya sebanyak
Rp 7 juta untuk ongkos administrasi dan pengurusan visa dan paspor. Namun setelah 2
bulan training, B tak kunjung diberangkatkan, bahkan hingga satu tahun tidak ada
kejelasan. Ketika dikonfirmasi, perusahaan PJTKI itu selalu berkilah ada penundaan,
begitu seterusnya. Dari kasus ini dapat disimpulkan bahwa Perusahaan PJTKI tersebut
telah melanggar prinsip pertanggungjawaban dengan mengabaikan hak-hak B sebagai
calon TKI yang seharusnya diberangnka ke negara tujuan untuk bekerja.
• Pelanggaran etika bisnis terhadap prinsip kewajaran
Sebuah perusahaan property ternama di Yogjakarta tidak memberikan surat ijin
membangun rumah dari developer kepada dua orang konsumennya di kawasan kavling
perumahan milik perusahaan tersebut. Konsumen pertama sudah memenuhi
kewajibannya membayar harga tanah sesuai kesepakatan dan biaya administrasi lainnya.
Sementara konsumen kedua masih mempunyai kewajiban membayar kelebihan tanah,
karena setiap kali akan membayar pihak developer selalu menolak dengan alasan belum
ada ijin dari pusat perusahaan (pusatnya di Jakarta). Yang aneh adalah di kawasan
kavling itu hanya dua orang ini yang belum mengantongi izin pembangunan rumah,
sementara 30 konsumen lainnya sudah diberi izin dan rumah mereka sudah dibangun
semuannya. Alasan yang dikemukakan perusahaan itu adalah ingin memberikan pelajaran
kepada dua konsumen tadi karena dua orang ini telah memprovokasi konsumen lainnya
untuk melakukan penuntutan segera pemberian izin pembangunan rumah. Dari kasus ini
perusahaan property tersebut telah melanggar prinsip kewajaran (fairness) karena tidak
memenuhi hak-hak stakeholder (konsumen) dengan alasan yang tidak masuk akal.
• Pelanggaran etika bisnis terhadap prinsip kejujuran
Sebuah perusahaan pengembang di Sleman membuat kesepakatan dengan sebuah
perusahaan kontraktor untuk membangun sebuah perumahan. Sesuai dengan kesepakatan
pihak pengembang memberikan spesifikasi bangunan kepada kontraktor. Namun dalam
pelaksanaannya, perusahaan kontraktor melakukan penurunan kualitas spesifikasi
bangunan tanpa sepengetahuan perusahaan pengembang. Selang beberapa bulan kondisi
bangunan sudah mengalami kerusakan serius. Dalam kasus ini pihak perusahaan
kontraktor dapat dikatakan telah melanggar prinsip kejujuran karena tidak memenuhi
spesifikasi bangunan yang telah disepakati bersama dengan perusahaan pengembang
• Pelanggaran etika bisnis terhadap prinsip empati
Seorang nasabah, sebut saja X, dari perusahaan pembiayaan terlambat membayar
angsuran mobil sesuai tanggal jatuh tempo karena anaknya sakit parah. X sudah
memberitahukan kepada pihak perusahaan tentang keterlambatannya membayar
angsuran, namun tidak mendapatkan respon dari perusahaan. Beberapa minggu setelah
jatuh tempo pihak perusahaan langsung mendatangi X untuk menagih angsuran dan
mengancam akan mengambil mobil yang masih diangsur itu. Pihak perusahaan menagih
dengan cara yang tidak sopan dan melakukan tekanan psikologis kepada nasabah. Dalam
kasus ini kita dapat mengakategorikan pihak perusahaan telah melakukan pelanggaran
prinsip empati pada nasabah karena sebenarnya pihak perusahaan dapat memberikan
peringatan kepada nasabah itu dengan cara yang bijak dan tepat.